Karya Pasangan Nomor 3 (@dsianakd & @gi_author)
“Paspor udah?”
Kuanggukan kepala.
“Tiket?”
Aku mengangguk.lagi.
“Ponsel?”
Ku angkat HP-ku, memutarnya ke kanan
dan kiri di depan wajah Frans. “Udah semua, kok. Tadikan udah di cek berulang
kali,” tegasku meyakinkannya.
Frans mendelik, kemudian menghentikan
semua pengecekannya atas barang-barang yang hendak ku bawa.Aku tersenyum,
mengerti maksud dari kekhawatiran lelaki itu.
Ku edarkan pandangan keseluruh sudut
Bandara Soekarno Hatta. Pikiranku kembali dipenuhi pertanyaan yang menyesakkan;
apakah semuanya akan sama seperti ini ketika aku kembali empat tahun nanti? Apa
masih ada yang tersisa untukku di kota ini?
Tepukan pelan menderat
di bahuku, “Gate 5.” Frans memberitahu.
Aku menoleh, mengerti. “Frans…”
“Apa? Ada yang ketinggalan?”
tanyanya cemas.
Matanya kutatap lekat, pendar itu serasa
memutar kenangan yang pernah kami lalui bersama. “Ada.”
Dahinya terlipat, “Penting, gak?”
Kusunggingkan senyum untuknya,
“Sangat penting,” jawabku tersipu.
Dia melirik jam tangannya, “Gimana,
dong? Keburu gak kalau aku bawa dulu?”
Serentak aku menggeleng, “Gak usah kemana-mana.Yang
ketinggalan itu ada di sini,” paparku seraya mengusap dada kiri lelaki itu.
Frans menyeringai, diraihnya tanganku
dengan lembut. “Aku akan menjaganya buat kamu,” bisiknya tanpa ragu.
Tak bertahan lama, genggamannya segera
kutepis. Kubenarkan posisi sling bag, dan
bersiap-siap untuk melanjutkan langkah menuju area check in. Baru beberapa langkah aku masuk, Frans berseru memanggilku,
“Ra!” Sontak, aku membalikkan badan. Menghadap ke arahnya lagi.
“Selesai kuliah, cepat pulang! Gak usah
lama-lama di sana,” pintanya nanar.
Aku terbata, hatiku mencelos mendapati
wajah sendunya. “Iya, Sayang.”
Antrean panjang menyambutku di
tempat pemeriksaan. Saking padatnya, jajaran ini terlihat seperti kumpulan semut.
“Mbak, tiketnya?” sapa petugas saat
aku tiba di ruang tunggu. Petugas berseragam itu melanjutkan, “Paspor?”
Setelah menerima dokumen penting
yang ku serahkan, petugas itu sibuk mencatat sesuatu. “Silakan masuk ke pesawat,
tempat duduk Anda nomor 11A,” pungkasnya sesaat kemudian.
Senyum lebar dengan ekspresi bersahabat
disertai tatapan ramah pramugari menjadi pengiring langkahku di dalam pesawat itu.
Segera mataku mengitari area ini, mencari tempat duduk nomor 11A.
Aku menoleh ke tempat duduk di
sampingku saat mengaitkan safety belt. Tempat
itu di duduki lelaki berpostur tubuh tinggi tegap dengan gaya rambut setengah berdiri
yang di miringkan ke kanan, bermata tajam dengan bola mata abu-abu, dan tulang pipi
yang menonjol.
“Tristan?!” pekikku tanpa sadar dengan
mulut menganga. Volume suaraku naik beberapa oktaf, antusiasme berlebihan benar-benar
melingkupiku saat ini. Bahwa, aku nyaris tak sadar bahwa penumpang lain turut mengamati
kegaduhanku.
Aku menatap lelaki di sampingku dengan
tidak percaya.
Benarkah lelaki itu Tristan
Gerrald?
Artis yang tengah naik daun saat ini?
YaTuhan…
Tristan mengatupkan mulutnya rapat,
melirihkan suaranya agar terdengar samar oleh para penumpang yang lain.
“Kamu? Tristan Gerrald?” ulangku dengan
nada bicara penekanan yang dikecilkan. Sepasang alisku terangkat, mataku membulat.
“Benar, kan?”
Lelaki itu menoleh sekejap, dia menatapku
dengan tatapan hangat dan bersahabat, membuat tatapku kian berbinar. “Ya, aku
Tristan Gerrald,” jelasnya dengan bibir merekah indah.“Dan, kamu?”
Aku terperangah. “Maura,” ucapku terbata.
Kupikir antusiasme saat bertemu dengan lelaki terkenal di tanah airku akan ditanggapi
tanpa acuh. Tapi ternyata, dia berbeda. Barangkali, sebagian orang popular memang
tidak angkuh saat menyapa masyarakat biasa sepertiku.
* * *
Tak lama, aku pun benar-benar terbang
bersama Garuda Indonesia Airways. Tapi sayang, aku tidak melintasi Samudera Pasifik.
Pesawat yang aku tumpangi tidak memperoleh izin untuk mendarat di Bandara Eropa.
Mungkin hal itu dikarenakan kondisi pesawat, entahlah.
Setelah memakan waktu kurang lebih dua
jam terbang bersama burung besar berpedang
biru itu, maka aku dan yang lainnya pun turun dari pesawat menuju transfer desk.
Penerbangan selanjutnya bersama
Malaysia Airline System, dari Kuala Lumpur menuju Frankurt.
Untuk kali kedua, aku transit di Frankurt. Bandaranya sangat rapi,
bersih, dan wanginya yang harum serasa memanjakan ruang napasku. Kemudian, aku melanjutkan
penerbangan bersama United State menuju Washington DC selama 7 jam melintasi samudera
Atlantik.
Aku sudah begitu dekat dengan
Negara Paman Sam. Lagi, aku melakukan penerbangan. Kini bersama American
Airlines, menuju San Francisco. Sepanjang jalan, pegunungan menampakkan wajahnya yang unik.
Mendekati San Francisco, pemandangan pegunungan yang tertutup salju mulai berganti
dengan kabut. Mendung dan kabut merupakan wajah khas San Francisco yang
berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik.
Roda-roda pesawat
yang kami tumpangi mendarat dengan sempurna di terminal 3, area Bandara Internasional
San Francisco. Area itu khusus bagi pesawat American Airlines yang melayani penerbangan
dalam negeri dan beberapa kota bagian Amerika Serikat.
Aku pun
turun dari pesawat, kemudian dengan sabar mengurusi migrasi. Pandanganku menyapu
seluruh sudut Bandara ini. Rasanya nyaman dan menyenangkan, tentu saja.
Pengurusan berkas-berkas
kedatanganku selesai lebih dulu dari yang lain. Karena itulah aku memutuskan untuk
berkeliling dahulu menikmati suasana yang tentu tidak akan sering ku jumpai seperti
saat ini.
Papan keberangkatan dan juga kedatangan
berkedip sesuai jadwal yang ada. Ini bukan Indonesia lagi, ini San Francisco. Orang-orang
yang berlalu lalang dan beraktivitas di sekelilingku tidak lagi berkulit sawo matang
dengan rambut hitam legam. Yang kulihat di sini orang-orang itu datang dari beragam
etnis, warna kulit, warna rambut, dan warna bola mata.
Musim gugur menyambut kedatanganku,
menebarkan angin lembut beraroma khas yang istimewa. Bisa aku rasakan wangi khas
daun maple yang mulai berubah warna. Sesekali aku memejamkan mata, menikmati sensasi
cuaca yang jarangku temui ini.
Aku menenteng beberapa koper yang
kubawa dengan susah payah. Ku ayunkan langkah menuju Cable Car[1]
yang akan mengantarku menuju apartemen. Hampir tak kusadari, Tristan
menyejajari langkahku. Aku terkesiap, terpaku cukup lama mengetahui lelaki itu berada
begitu dekat denganku. Kemaja kotak-kotak yang dipakainya terayun lembut di
depan mataku.
Tatapan Tristan serasa menawarkan ketenangan
untuk hatiku yang gundah. Mata kelabu yang begitu ekspresif, namun begitu mendamaikan
jiwa. Jantungku berdegup kencang tidak keruan, aku menahan napas untuk beberapa
saat. Lelaki itu seperti mengalirkan ion listrik yang mampu membuatku tersetrum
seketika. Sekujur tubuhku menjadi dingin sebab memikul perasaan yang campur aduk
seperti ini.
YaTuhan…
“Hai?” sapanya yang tak tidak
pernah kubayangkan sebelumnya.
“Hai. Mm, kamu mau ke mana?”
jawabku gugup. Ini tak adil bagi para fans Tristan di Indonesia. Wajahnya yang
begitu meneduhkan tak sanggup lagi kuelakkan.
“Aku mau pulang. Di sini rumahku.
Kamu?” tanyanya lagi dengan ramah masih dengan aksen Indonesia yang tidak kebule-bule-an.
“Aku mau ke apartemen. Aku
mahasiswa baru di UC San Francisco,” senyumanku tak sadar mengiringi penjelasanku
kepadanya.
“Wow, amazing! Tidak banyak mahasiswa baru dari Indonesia yang berhasil
masuk di sana. Ambil jurusan apa?” tanyanya lagi.
“Kedokteran gigi. Cita-citaku dari
kecil. Bersekolah di luar negeri dan menjadi dokter gigi” ceritaku dengan ceria.
Obrolan itu berganti ketika Tristan dan aku tengah berada di perjalanan. “Maura,
apa kau sudah tahu jalan menuju apartemen? Apa mau aku antar?” tawarnya yang
semakin membuat jantungku berdegub tak berirama.
“Tidak usah. Aku akan mencari taksi sendiri. Thankyou, Tristan.” jawabku sok dengan berbahasa Inggris. Tapi apa
yang aku dapati? Tristan tetap menjawabnya dengan Bahasa Indonesia.
“Tidak apa-apa. Aku antar saja. San
Francisco akan tidak bersahabat jika kamu menolak kebaikan seseorang. Dan mungkin
saja aku bisa menjadi tourguide untukmu
sementara.”
Sembari melempar tawanya yang
begitu bijaksana, Tristan mengambil koperku dan menyuruh sopir taksi memasukannya ke dalam bagasi bersama
kopernya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di sepanjang jalan ia banyak
bercerita tentang asal muasalnya mengapa ia bisa menjadi artis di Indonesia.
Ceritanya hanya membuatku sesekali mengangguk dan berkata “ya”, lebih dari itu
yang keluar dari mulutku hanyalah kalimat tanya.
* * *
Aku melakoni keseharianku di kota
ini berusaha dengan penuh semangat. Tristan pun tidak mengingkari janjinya
untuk menjadi tourguideku sementara
selama Tristan berada di sini. Tristan sering mengajakku pergi jalan-jalan
menyusuri kota yang begitu sejuk karena kabut dinginnya. Di sela-sela itu sesekali
aku masih sering merindukan Ayah dan Bunda. Dan tentu, Frans. Hubungan jarak
jauh yang aku alami sedikit membuatku dilanda rasa rindu yang luar biasa.
Pernah aku bercerita mengenai
Tristan kepada Frans melalui e-mail ataupun banyak media sosial lainnya. Dan
ternyata begitu bodohnya apa yang telah aku lakukan, Frans begitu langsung
terlihat marah, cemburu meluapkan segala sesuatunya yang ingin dia ketahui
dengan apapun yang bisa dia lakukan. Video
call terutama. Frans memintaku untuk mengenalkan Tristan kepadanya dan
meyakinkan Tristan bahwa aku adalah kekasihnya, kekasihnya, kekasihnya, dan
kekasihnya.
Untungnya, Tristan pun selalu mengiyakan
apa pun kata Frans. Ia begitu memaklumi dengan apa yang dirasakan Frans.
“Karena aku pernah merasakannya,” jawab Tristan ketika aku berusaha meminta
maaf atas sikap Frans yang terlalu protektif kepadaku. Setelah itu Tristan
mulai bercerita banyak tentang masa lalunya.
Aku tahu mengapa Tristan pergi ke
Indonesia. Dulu, ia mempunyai seorang kekasih di kota ini. Tristan begitu mencintainya
tapi setelah ia diharuskan orangtuanya untuk pergi ke Indonesia ia harus
berpacaran jarak jauh. Dan itu tidak bisa berlangsung lama. Ia begitu sakit
hati ketika mengetahui bahwa kekasih yang di percayainya selama ini pergi
dengan seorang lelaki hidung belang. Semenjak itu ia memfokuskan dirinya untuk
selalu di Indonesia walau sering kali Tristan harus pergi ke kota ini untuk
mengunjungi grandma dan grandpanya yang masih selalu merindukannya.
Oleh sebab itu, Tristan masih selalu menyebut kota ini sebagai rumahnya.
* * *
Masa berkunjung Tristan di San
Francisco telah habis. Ia harus pergi ke Indonesia untuk kembali ke
rutinitasnya seperti biasa. Menjadi artis yang tengah naik daun.
“Tristan, apa tidak bisa jika kamu di sini
sedikit lebih lama lagi? Aku belum tahu di mana toko buku-buku pelajaran yang
bagus. Kamu belum sempat mengajakku ke sana? Aku juga belum tahu toko
bahan-bahan rumah tangga? Aku tidak tahu Tristan,” kulukiskan wajah muramku di
hadapan artis Indonesia itu. Berharap ia tidak meninggalkanku saat itu juga.
“Hey gadis cantik sawo matang!” Tristan
meletakkan koper yang dibawanya sedari tadi dan mengusap pipiku dengan kedua
tangannya.
“Kamu bisa main ke rumahku dan
bertanya kepada grandma. Okay?”
Tristan meyakinkan. Lagi-lagi mata itu berhasil meneduhkanku kembali. Aku hanya
diam. Ia mencium keningku. Sekujur tubuhku mendadak terasa dingin. Tak berharap
degup jantungku terdengar dari kejauhan.
“Jaga dirimu baik-baik, Maura. Aku
janji aku akan datang kembali secepatnya.”
“Aku menunggu janjimu. Jangan lupa
kirim e-mail serutin mungkin, ya!”
jawabku cepat. Sepertinya mataku berkata bahwa aku akan begitu merindukannya.
* * *
Tristan membuatku merasa bahwa di
San Fracisco aku tidak sendiri. Kebetulan yang membuatku bertemu dengannya,
kebetulan yang bisa menemaniku sehingga aku merasa bahwa aku mengenal kota ini
lebih dalam melalui dirinya. Terima kasih Tristan.
Setelah Tristan, aku berharap ada
lagi seseorang yang dapat membantuku kembali tanpa susah-susah buatku
mengenakan aksen bahasa Inggris yang harus kulakukan sedikit lebih berpikir.
Tapi apa boleh buat, tidak ada manusia keturunan Indonesia lagi di sekitarku.
Sedikit banyak membuatku akan lebih canggih berbahasa Inggris.
Sebagai mahasiswa di fakultas
kedokteran gigi, aku diharuskan menjadi manusia yang tidak boleh biasa-biasa
aja. Tinggi ilmu, pandai menghapal, cekatan, aktif, dan hal lainnya yang memang
harus di milikki oleh seluruh mahasiswa di Universitas ini. Aku tidak pernah
menyesali hal itu. Karena ini cita-citaku, keinginanku, dan aku harus
mempertanggungjawabkannya.
* * *
Liburan semester. Keinginanku hanya
satu. Pulang ke Indonesia. Aku sudah sangat merindukan Ayah dan Bunda. Dan juga
Tristan. Lalu, Frans kekasihku. Tapi, ketika aku berkata tentang keinginanku
tersebut, Tristan segera mencegahku untuk pulang karena Tristan berkata ia
hendak berkunjung kembali ke San Fracisco. Ya! E-mail yang kudapat itu seketika membuat hatiku bak cacing
kepanasan. Melompat ke sana ke mari. Jika matahari dapat mengimbangi perasaanku
yang mencuat, pasti kota ini akan cerah sepanjang hari.
Dua hari lagi Tristan akan
berangkat ke San Francisco. Tristan berjanji akan membawaku ke tempat-tempat
indah di kota ini. Kota yang penuh dengan aksen modern, rapi, dan tenang.
Aku merapikan diriku. Dari pergi ke
salon dan berbelanja banyak pakaian untuk aku berjalan-jalan dengan Tristan
nanti. Liburan semester yang akan begitu menyenangkan.
* * *
Spesial. Aku sudah bertekad untuk
menjemput Tristan di bandara. Menyambut kedatangan artis Indonesia. Kukenakan
sepatu boot ku yang berwarna coklat tua, celana jeans, serta slayer berwarna coklat pula yang
terlihat rapi dengan kaos putih polos yang ku kenakan. Semangat sekali aku
berangkat menuju bandara. Tak ada rasa lain yang mencuat kecuali rasa bahagia.
Sudah kutunggu pesawat ia dari 30 menit yang lalu tapi tak tak datang juga.
Ah,
delay!
Kuputuskan untuk menuju sebuah kafe
di bandara. Kucari sedikit cemilan agar tidak merusak moodku karena terlalu lama menunggu. Setiap menit kudelikkan mataku
ke setiap sudut bandara, berharap tiba-tiba Tristan datang mencariku. Tapi
entah, sudah berapa lama aku duduk di café ini memelototkan mataku sedari tadi.
Hingga ponsel ku berdering. Tristan
Gerrald!
“Hallo? Where are you, boy?” tanyaku setelah kuketahui Tristan yang
meneleponku.
“Aku di sini. Kamu di mana? Biar
aku yang ke sana,” jawabnya tetap terdengar tenang.
“Aku di kafe,” jawabku singkat.
Tristan mematikan teleponnya.
* * *
Mendadak entah mengapa kafe ini terlihat
begitu ramai. Banyak turis yang wara-wiri menyapu jalanan bandara. Kuusapkan
kedua tanganku agar terasa hangat. Entah, aku merasa sangat menggigil saat ini.
“Hai, Maura!” suara yang sangat kukenal.
Sekerjap kubalikkan badanku. Terlihat pria yang masih sama kulihat sekitar 6
bulan yang lalu. Hanya saja kulitnya agak sedikit lebih sawo matang.
“Oh My God! Tristan, I miss you so much!” kuangkat tubuhku dari
kursi yang sedari tadi menopangku. Aku berlari menujunya. Kubenamkan tubuhku ke
dadanya yang bidang. Kali ini tanganku sudah terasa hangat jauh berbeda dari
rasa dingin yang kurasa tadi.
Tapi, apakah ada yang salah?
Tristan tidak membalas pelukanku. Ia tidak seantusias aku. Awalnya aku berpikir
bahwa itu hanya perasaanku saja. Tapi, setelah suara itu terdengar… Aku hanya tercengang.
Entah apa yang harus aku katakana.
“Oh. Jadi Tristan yang kamu
rindukan? Ya! Harusnya aku sudah tahu itu dari awal. Dan seharusnya, aku tidak
ke sini untuk menemuimu. Karena yang ingin kamu temui hanya Tristan! Bukan
aku!” Frans tidak menatapku yang berada tepat di hadapan Tristan.
“Frans? Kamu… kamu disini?” tanyaku
terbata-bata.
“Tidak sadarkah kamu dengan
keberadaanku? Oke, Maura. Sekarang aku sudah tahu. Baiklah. Thanks Tristan sudah mengajakku ke sini.
Aku akan pulang secepatnya,” kalimat Frans membuat hatiku sangat tertusuk.
Betapa bodohnya aku. Betapa menyakitkannya aku untuk Frans.
“Frans, maaf. Aku nggak tahu kalau
kamu kes ini. Maaf, Frans,” aku tertunduk, menggenggam tangan Frans dengan
sekuat tenagaku yang mulai melemah.
“Awalnya itu kejutan agar kamu
semakin bahagia melihat aku datang ke sini. Tapi ternyata…. Hahaha jauh dari
perkiraan! Anggap saja kemarin aku hanya berkhayal.” Frans melepaskan tanganku.
Menjauhiku dan Tristan. Aku hanya berteriak memanggil namanya.
Tristan yang menahanku agar tidak mengejar
Frans. Sementara ia yang mengambil alih untuk mengejar Frans. Entah apa yang
mereka bicarakan. Tapi apa pun itu yang membuat Frans juga menepis tangan
Tristan yang mencoba mengajak berbicara baik-baik. Hingga Frans pergi dengan
bawaanya yang cukup banyak.
“Tristan, kenapa kamu nggak bilang
kalau Frans ikut? Kenapa?” aku menangis di hadapan Tristan untuk yang pertama
kalinya.
“Dia yang memintaku untuk tidak
memberi tahumu. Maaf, Maura.” Dan untuk yang pertama kalinya pula Tristan
terasa canggung menggenggam tanganku untuk sekadar menenangkan aku. Dan kalimat
serta sorot matanya pun juga sudah tak mampu meneduhkanku lagi.
Tristan,
please aku butuh kamu yang meneduhkanku…
“Maaf, Maura. Tadi Frans sudah
memutuskan untuk langsung mencari tiket untuk kembali. Ayo aku antarkan kamu
pulang.” Masih dengan canggung Tristan merangkulku. Tidak seperti dulu.
“Tristan?”
“Kenapa, Maura?”
“Hanya itu?”
“Maksudnya?”
“6 bulan yang lalu. Ketika aku
memanggilmu seperti tadi pasti kamu tidak hanya bertanya ‘kenapa?’ tapi jauh
lebih dari itu!” jelasku, mataku berbinar. Tak tahan ingin kutumpahkan air
mataku lagi.
“Maaf, Maura. Tapi…”
“Tapi apa, Tristan? Sekarang
jawablah pertanyaanku!” kuusap air mata yang mulai mengalir lagi. Tristan hanya
menunduk.
“Apa kamu masih mau menepati
janjimu untuk mengajakku mengelilingi San Francisco?” tanyaku tegas.
“Aku tidak pernah berjanji itu,
Maura. Semua yang ada di e-mailku
akhir-akhir ini yang mengirim bukan aku. Tapi, Frans. Maaf Maura.”
Kurasakan kakiku kaku. Sebujur
tubuh yang kurasakan terasa lekat oleh aroma dingin. Entah rasa sakit apa yang
aku rasakan saat ini. Kehilangan Frans? Atau kehilangan janji yang aku kira itu
Tristan?
* * *
Aku hanya merenungkan perasaan itu
berhari-hari. Dari hari libur yang tersisa, aku putuskan untuk pulang ke
Indonesia. Karena memang Tristan tidak pernah berjanji apa-apa kepadaku.
Mungkin yang aku pikirkan, hanya Bunda dan Ayah tempat berliburku yang paling
tepat.
Haaii kakak-kakak :3
BalasHapusIni Vero_yola :D
Suka sama ceritanya.
Berharap ini ada lanjutannya :3 Rasanya kurang panjang, mungkin karena cerpennya yang terkesan simpel dan perasaan tokoh-tokohnya bisa Yola rasain :9
Keren deh cerpennya!
By the way, di kalimat "Aku mengangguk.lagi." Lagi-nya itu harusnya huruf kapital 'kan? Soalnya Yola liat tanda titik di belakang huruf k ~ Atau mungkin matanya Yola yang gk fokus(?)
Last,
kalau ada lanjutannya, Yola pengen baca lagi yaa? *eeh ;3
Semangat menulis kakak-kakak! ^^
Tetap berkarya! :D
Hallo, Yolla! :) Trims buat komentarnya. Iya, cerpen ini banyak typo. :( Aku kurang jeli pas self-edit, hihi.
HapusYeeahhhh Keren, Bisa ngambil hikmahnyaaa :D
BalasHapusTrims buat komentar 'keren'-nya. Kritikannya mana, nih? Hehe.
HapusCiee ini yang kemarin duo ganda itu yaaa... Gue nggak pernah ikutan neh
BalasHapusAyo dong, di #WritingChallenge berikutnya harus ikut! :D
HapusHai :)
BalasHapusAku @adlin_apriliani :)
Aku suka sama ceritanya, cara penulisannya juga bagus. Tapi ada beberapa kata yang suka diulang seperti " tak tidak" entah itu disengaja atau bukan. Selain itu nghak ada lagi yg perlu dikomen ^^
Aku @dsianakd. Terimakasih Adlin atas koreksinya, iya sebenarnya hanya satu kata yang di pakai. Mungkin kami lupa menghapus dan kurang teliti saat me-revisinya.
Hapus