Aku berjalan melewati setiap anak tangga untuk menuju
ruang perpustakaan sambil membawa banyak lembaran kertas yang berisi cerita
fiksiku, termasuk naskah novel buatanku. Kemarin, Vero—teman sebangkuku—memberitahuku
tentang lomba menulis dengan berbagai macam tema yang diadakan oleh beberapa
penerbit.
BRUKK
Aku menjatuhkan lembaran-lembaran kertas dan tasku ke
meja yang berada di depanku.
Selanjutnya, aku berjalan mengelilingi perpustakaan untuk mencari buku
yang kuperlukan untuk kebutuhan cerita-cerita buatanku.
“Sastra Indonesia, Kumpulan Cerita Pendek, Tips Membuat Cerita Menjadi Menarik, Cara Membuat Cerita Horror Menjadi Lebih Menakutkan... hmm... ada yang kurang
nggak ya? Kayaknya nggak deh.” Aku mengabsen setiap buku yang kuperlukan dan aku rasa ini sudah cukup. Aku kembali
menuju meja dimana aku meletakkan lembaran-lembaran cerpenku dan tasku. Tapi
tunggu…
“Cerita lo bagus juga, feel nya dapet banget… ini semua lo sendiri
yang buat?” tanya seorang
cowok yang tidak aku kenal, karena wajahnya tertutup
kertas HVS.
“Lo…? Siapa?” tanyaku balik kepadanya. Cowok itu
menghentikan kegiatan membaca cerita pendekku dan sekarang wajahnya sudah
terlihat karena kertas HVS yang sedari tadi menutupi wajahnya sudah ia letakkan di meja.
“Lo anak IPS-3 ya?” tanya nya.
“Gue nanya sama lo, lo siapa? Seenaknya baca cerita gue
tanpa bilang sama gue.” Aku duduk di samping cowok yang tak ku kenal ini, lalu
meletakkan buku-buku yang sudah kuambil tadi di atas meja kayu di hadapanku.
“Gue Ciko, anak IPS-1. Lo suka nulis ya? Cerita lo bagus dan feel cerita lo bagus banget di-genre horor, komedi, sama friendship. Tapi,
ada satu genre yang nggak gue temuin dari semua cerita
lo. Romance.” Cowok ini menoleh
ke arah ku yang sedang sibuk membaca.
“Gue gak
bisa. Gue gak pernah tahu apa itu CINTA. Dan sayangnya, gue GAK AKAN mau tahu
tentang CINTA,” jawabku dengan penuh penekanan pada beberapa kata yang aku
ucapkan.
“Nggak bisa? Kenapa? Bahkan romance hal yang paling mudah buat di ceritain.” Kini alis sebelah
kirinya terangkat beberapa senti. “Bahkan di semua cerita lo yang berbau horor,
komedi, dan persahabatan itu, sama sekali gak ada sedikit pun unsur romance,” sambungnya. Matanya menatap
wajahku yang masih asik membaca.
“Kenapa?
Lagi pula, cinta itu cuma omong kosong. Jadi…” kataku menggantungkan kalimatku.
Mataku masih setia membaca tulisan yang ada di buku, walaupun konsentrasiku
buyar karena laki-laki ini. “Gue gak tertarik buat jadiin tema romance di karya tulis gue,” jawabku.
“Omong kosong? Lo...
aneh.” Cowok yang baru kukenal namanya ini berdiri dan meninggalkan perpustakaan.
***
Nasi goreng di depan mataku sudah mendingin, kebulan
asapnya tak lagi terlihat. Sudah lama aku duduk di kursi kayu ini, mencoba
untuk mengerti apa yang terakhir kali Ciko katakan padaku.
“Omong kosong? Lo aneh. Gue? Aneh? Maksudnya apasih tuh
orang!” gumamku
sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sedari tadi belum ku jejalkan ke dalam
mulutku.
“Siapa yang aneh?” ucap Vero yang tiba-tiba menyerobot
nasi gorengku dan
memakannya dengan lahap.
“Lo yang aneh! Nasi gorengnya belum gue bayar, ‘kan lo yang makan jadi lo yang bayar!”
Aku segera pergi meninggalkan Vero. Mata coklatnya menatap kepergianku dan kini
berganti menatap nasi goreng yang baru dimakannya.
“TIARRRR! Kenapa
lo gak bilang kalo nasi gorengnya belom dibayar?” Vero berteriak dengan nasi
yang masih ada dimulutnya dan
menyebabkan nasinya menyembur kemana-mana.
“Haha... sukurin! Lagian main rebut aja. Dasar cowok
stress!” Aku tertawa kecil sambil mengayunkan langkahku. “Gue mau ke mana ya?
Kelas? Ah... perpustakaan aja deh.” Lagi-lagi aku harus melewati anak tangga.
Mengapa sekolah harus menempatkan perpustakaan di lantai atas, yang harus
melewati berpuluh-puluh anak tangga untuk mencapai lokasi. Hal ini yang menjadi
alasan siswa-siswi malas ke perpustakaan. Tapi, apa boleh buat, ini keputusan
sekolah.
Kini aku sudah berada di ambang pintu perpustakaan. Aku
melihat ke kanan-kiri seperti ingin menyebrang, dan ternyata sepi. Apakah hanya ada aku seorang di perpustakaan?
Entahlah. Aku berjalan diantara rak-rak buku yang sudah berjejer, tangan dan
mataku sibuk mencari buku yang ingin ku baca.
“Nah ini dia!” seruku. Aku pun
mencari tempat duduk.
“Nih lo baca!”
ucap seseorang yang baru saja duduk disampingku. Ia melempar
satu buah novel ke arahku. Sejenak aku melirik novel yang
dilemparnya dengan alis yang terangkat kebingungan, lalu aku menoleh ke arah
kiri memastikan siapa yang melempar novel itu.
“Lo lagi? Hefft...”
kataku dengan desahan di akhir.
“Gue mau lo baca novel itu,” jawab Ciko—Si Cowok
Menyebalkan dan sok akrab tentunya.
“Lo nyuruh gue
baca novel kayak gini? Gue gamau! Nih!” tukasku, lalu mengembalikan novelnya
pada Ciko dan kembali membaca novel ‘Lewat Tengah Malam’ yang kuambil
tadi—novel kesukaanku.
“Iya. Lo harus
baca ini! Gue baru tau kalo di sekolah ini ada seorang penulis cewek yang
bernama Tiar Pratama yang cuek, jutek, judes, galak, dan nganggep CINTA itu cuma
omong kosong,” katanya dengan seringai tipis. Uraiannya tentang diriku cukup membuat mataku membulat sempurna.
“Maka dari
itu, Ciko Bramantyo mau membantu Tiar Pratama untuk mengenal cinta dengan cara
baca novel romatis itu,” kata Ciko sambil mengambil novel ‘Lewat Tengah Malam’
yang baruku pegang dan menggantikan novel itu dengan novel rekomendasinya.
“Lo
apa-apaan sih? Lo baru kenal gue dan seenaknya ikut campur masalah kehidupan
gue. Dan tadi lo bilang lo mau gue mengenal cinta lebih dalam? Apa perlu? Apa
cinta sebuah pelajaran yang harus gue pelajarin? Enggak ‘kan? Dan mulai sekarang, lo pergi dari hidup gue dan jangan ikut
campur lagi! Dan jangan pernah paksa gue buat masuk ke dalam dunia CINTA!
Ngerti lo?” Emosiku memuncak kepada Ciko. Entah mengapa, aku aku sangat
membenci orang yang selalu membicarakan cinta di hadapanku.
Aku bangkit berdiri dan berniat meninggalkan laki-laki
menyebalkan ini. “Tunggu!” Ciko
memegang pergelangan tanganku, lalu menarikku sehingga aku kembali duduk di
tempat semula.
“Ck! Kenapa lagi sih?” Aku menatap Ciko yang sedang
memperhatikan wajahku dengan senyum miring yang seolah-olah meledekku.
“Gue tetep akan bawa lo ke dunia cinta, dengan cara halus
dan tanpa paksaan dari gue, tapi paksaan dari hati lo sendiri. Tunggu aja kapan
waktunya dateng. Dan sekarang lo baca novel ini…” ucap Ciko, dan lagi-lagi dia
meninggalkanku di ruang perpustakaan sendirian.
***
Entah yang ke berapa kali aku membaca novel romantis
rekomendasi Ciko. Tidak ada yang salah dari novel rekomendasinya, tapi ini
semakin membuatku terperangkap dalam kisah cinta yang tertulis di novel
tersebut. Kisah romantis sepasang kekasih memang indah bila diceritakan, tapi,
kisah romantis juga yang mengingatkanku tentang betapa ‘omong kosongnya cinta’.
Aku menghembuskan nafas panjang saat novel rekomendasi
Ciko tersisa dua lembar lagi dan sebentar lagi novel-novel ini akan kembali ke
rak-rak buku perpustakaan bersama teman-temannya, dan selanjutnya aku
benar-benar akan terbebas dari novel-novel rekomendasinya, novel-novel yang
memaksaku untuk bernostalgia. Satu hal yang janggal dalam benakku dan
menimbulkan pertanyaan ‘kenapa bisa aku menyanggupi perintahnya untuk membaca
novel-novel romantis seperti ini?’ dan kini pertanyaan itu masih memenuhi
otakku karena aku belum bisa menemukan jawabannya. Rasanya otakku harus segera
di servis sebelum rusak total karenanya.
Pandanganku tiba-tiba gelap, seseorang telah mengagetkanku
saat aku membaca dengan menutup mataku dari belakang. Kedua telapak tangannya memberikan rasa
hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku. “Gue gak suka di ajak main-main gak jelas,” kataku mulai kesal
dibuatnya.
Tak perlu menunggu lama, telapak tangan orang usil itu
perlahan-lahan merenggangkan jemarinya sehingga sedikit demi sedikit cahaya
kembali terlihat oleh mataku. “Lo judes amat sih!” ledek Ciko—pelaku
keusilan—sambil memposisikan dirinya untuk duduk di sampingku. “Wah...
novel-novel rekomendasi gue lo baca juga!” katanya takjub.
“Gue udah baca semua novel rekomendasi lo, jadi...” Aku
menggantungkan kalimatku sebentar. Novel yang aku baca langsung aku letakan di
atas meja dalam posisi terbalik. “JANGAN GANGGU GUE!”
“Sayang sekali, gue udah terlanjur seneng gangguin hidup
lo. Masa iya gue harus pergi ninggalin kesenangan gue?”
“IYA. LO WAJIB TINGGALIN GUE. JANGAN GANGGU GUE LAGI!”
kataku sedikit berteriak. Aura mematikan sudah keluar dari dalam tubuhku,
namun, laki-laki menyebalkan ini tidak bisa menyadari aura mematikan dariku.
“Lo pengen gue tinggalin?” tanya Ciko dengan nada santai.
“IYAAAAA!!!” kataku benar-benar emosi sekarang. “IYA!
IYA! IYA! GUE PENGEN LO JANGAN GANGGU GUE LAGI!”
“Jadi, lo pengen jadi pacar gue?”
“IYA—EH!” kataku menyadari kejanggalan dari kalimat
tanyanya. Mataku tak berhenti memandang wajah sok polos yang bagiku sangat
menyebalkan itu. Kedua tanganku sudah terlipat manis di depan dada. “Pertanyaan
lo aneh,” kataku menurunkan satu oktaf nada bicaraku.
“Sayangnya, lo udah nerima gue jadi pacar lo” kata Ciko
masih memasang wajah menyebalkannya. Dia bangkit dari duduknya, tangan kanannya
mengacak-acak rambutku yang saat ini dikuncir ponytail. “Selamat membaca lagi, pacar baru!” sambung Ciko langsung
meninggalkanku pergi begitu saja.
Meskipun aku sudah ditinggal dengan laki-laki yang tidak
tahu diri itu, aura membunuhku masih mengepul di permukaan. Aura membunuh yang
transparan dan bertambah banyak karena ucapan Ciko yang di luar dugaanku. Ini
tidak mungkin terjadi! Aku berpacaran... lagi? Ciko menarikku ke dunia cinta
yang sejak lama sengaja aku pisahkan dari duniaku. Ini bukan dunia cinta! Ya...
ini bukan cinta! Cinta hanya omong kosong dan kasusku dengan Ciko hanyalah
kejadian yang disebabkan kata-kataku yang terburu-buru. Ini... KECELAKAAN!
***
Pukul satu siang di hari Minggu. Suasana food court di salah satu mall di Jakarta masih ramai dari
pengunjung. Bahkan, eskalator yang aku naiki pun rasanya sudah dipenuhi banyak
orang untuk sekedar makan siang di food
court yang terkenal di ibu kota ini.
Aku tidak suka tempat yang ramai dan bising seperti ini,
kalau bukan karena Ciko yang memaksaku ke sini, aku tidak akan datang. Bukan
hanya paksaan yang dilayangkan Ciko lewat SMS-nya, tapi juga kalimat ancaman.
Ancaman yang membuatku ‘terpaksa’ untuk memenuhi keinginannya, ancaman bahwa
dia akan membakar novel terjemahan jaman dulu yang sudah lama aku cari. Ini
semua demi novel itu! Cuma karena novel.
Lambaian tangan Ciko yang langsung ditangkap oleh kedua
mataku. Senyumnya merekah dan tidak ada ekspresi bosan atau kesal gara-gara
menunggu. Aku sudah telat setengah jam dari jam yang dijanjikan dan itu bukan
disengaja. Tahu sendiri ibu kota tidak pernah lepas dari kata macet, dia
menyuruhku satu jam yang lalu. Jadi, salahkan dia karena dia telah membuat
janji dadakan.
Aku menghampiri Ciko yang telah berdiri untuk menyambut
kedatanganku. Ciko menarik kursi yang disediakannya untukku dengan berkata
‘Silahkan duduk Tuan Putri!’ Hal yang
menurutku sangat berlebihan,
“Mau pesan apa?” tanya Ciko ramah. Semenjak incident dua minggu yang lalu, Ciko
berubah 180 derajat. Sikapnya tak lagi seperti dulu, tidak ada lagi Ciko yang
bawel yang selalu menyuruhku membaca novel-novel romantis, menggangguku di saat
membaca, dan mengata-ngataiku dengan ledekan aneh yang dibuatnya. Dan sekarang
aku harus mengenal dan harus beradaptasi kembali dengan sosok Ciko yang baru,
sosok Ciko yang ramah, perhatian, dan sopan. Tapi tetap saja, Ciko adalah Ciko,
sekali aku membencinya maka selamanya aku akan membencinya.
Mataku menyipit melihat tingkah aneh Ciko “Lo kenapa sih
jadi berubah aneh kayak gini? Lo sakit? Kalau lo sakit lebih baik lo ke dokter
deh. Lo dari tadi
senyum-senyum nggak jelas mulu, gue jadi takut sama lo!” kataku seenaknya.
“Aku gak sakit kok. Kamu beda ya kalo lagi nggak pake seragam, lebih terlihat
cantik. Betewe, kamu mau pesan apa, Tiar?” tanyanya sopan, masih dengan senyum
dibibirnya. Nah! Pasti ada sesuatu yang aneh di otaknya dua minggu terakhir
semenjak incident waktu itu.
“Lo gak usah pura-pura baik sama gue. Gue tahu, lo
berubah jadi sopan, perhatian, ramah, dan sok perfect cuma gara-gara lo nganggep gue pacar lo‘kan? Denger ya Ciko, gue nggak pernah nganggep lo jadi pacar gue. Dan satu hal
yang perlu lo tau dan perlu lo inget, insiden waktu itu yang buat status gue
jadi pacar lo. Hm... lebih tepatnya jadi pacar kecelakaan lo.” kataku mengeluarkan uneg-uneg dalam hati.
Siapa yang mau dibohongi? Jelas tidak ada. Aku juga tidak mau dibohongi dengan
topeng kepribadian Ciko yang sok jadi pahlawan kesiangan “Dari dulu pandangan
gue tetep sama, cinta itu omong kosong. Cinta gak pernah berakhir manis,
semuanya pahit. Cinta itu berasa kaya lagi makan permen karet, manisnya di awal
dan makin ke sini rasanya jadi hambar,” sambungku.
Ciko terdiam menyimak semua kata-kata yang keluar dari
mulutku. Wajahnya berubah jadi datar, matanya benar-benar menatapku tajam
membuatku menjadi salah tingkah. “Terus, selama dua minggu ini lo anggep gue
apa? Gue berusaha buat jadi cowok yang sempurna di hadapan lo, lo tahu
alasannya?” tanyanya. Aku menggeleng dengan wajah tidak peduli, walaupun
sebenarnya aku tidak suka ditatap seperti itu. “Gue pengen ngasih tahu ke lo,
kalau cinta itu bukan OMONG KOSONG!” kata Ciko menekan dua kata di kalimat
terakhirnya. Kalimat Ciko berhasil memancing keingintahuan pengunjung di dekat
kami. Mereka melihat kami seolah-olah bertanya ‘apa yang sedang terjadi?’
dengan wajah polos mereka. Namun aku memilih untuk tidak peduli pada pengunjung
yang sedang memerhatikan kami—Aku dan Ciko—dengan tatapan kebingungan.
“Gue gak pernah
minta lo buat jadi pacar gue ‘kan?
Gue juga gak pernah minta lo buat berubah jadi lebih sempurna di mata gue ‘kan? Itu semua kemauan dari diri lo
sendiri. Kenapa lo malah sewot sama gue?” Aku benar-benar kesal karena Ciko.
Bagaimana bisa dia menyalahkan aku, padahal itu semua adalah kemauan dirinya.
Ciko terdiam karena telah mendengar omonganku. Ia melipat kedua tangannya diatas meja
lalu memandang wajahku lekat-lekat dengan mata hitamnya. Namun, tiba-tiba Ia
menunduk dan mendesah “Hefft... iya ini emang salah gue. Gue udah nyerah buat
menghilangkan prinsip dan pendapat lo kalau cinta itu omong kosong. Dan
sekarang, gue mau
kita putus. Makasih udah mau jadi pacar kecelakaan gue.” Ciko pergi begitu saja
meninggalkanku dengan orang-orang yang haus akan jawaban pertanyaan mereka.
Rasanya seperti berada di kandang buaya.
Saat Ciko pergi meninggalkanku, tiba-tiba saja ada rasa menyesal dalam diriku. Tapi, dengan perginya Ciko, aku tahu satu hal yang pasti, dia tidak
benar-benar mencintaiku. Terbukti bukan, cinta itu omong kosong? Hanya menebar
janji dan kepalsuan. Cinta juga yang merubah sifat manusia 180 derajat dalam waktu singkat. Sayangnya, sifat manusia karena cinta berubah dengan cepat dan berakhir
dengan cepat pula.
Aku
membiarkan Ciko pergi meninggalkanku untuk yang
kesekian kalinya. Aku memesan
banyak makanan untuk merayakan terbebasnya hari-hariku dari pacar kecelakaanku
juga merayakan bahwa prinsipku selama ini benar adanya, bahwa cinta hanya omong
kosong.
***
Tepat lima bulan semenjak kejadian di food
court antara Aku dan Ciko. Ciko benar-benar menjauhiku. Ia benar-benar menghilang dari
kehidupanku dan kini aku
merasa kesepian. Padahal setelah
kejadian lima bulan yang lalu hubunganku dengan Vero semakin dekat, Vero selalu
mengajakku ke kantin bersama dan mentraktirku, Vero juga semakin sering
mengajakku untuk jalan-jalan. Tapi, entah kenapa perasaan di dalam hatiku masih
merasakan kesunyian yang mendalam. Aku kesepian. Bukan aku, tapi, hatiku.
“Kak
Tiar!” sapa seseorang mengagetkanku, alhasil kantung plastik yang sedaritadi ku
genggam terjatuh dan membuat novel yang ada didalamnya berserakan. Gadis yang
usianya lebih muda satu tahun dariku ini langsung mengambil novel yang tak
sengaja terjatuh karenanya.
“Maaf kak, Fera gak bermaksud buat ngagetin kakak. Kakak sendirian di toko buku? Kok tumben nggak sama Kak
Vero?” tanya gadis cantik yang bernama lengkap Ferasya Putri.
Aku tersenyum “Iya gapapa. Lagian salah Kak Tiar juga
sempet melamun di tempat umum kayak gini. Vero lagi latihan basket, masa kamu
lupa jadwal eskul kakak kandungmu sendiri sih?” godaku. Fera tersenyum hambar.
“Kamu juga, sendiri aja?”
Fera menggeleng cepat. “Sama pacar baru dong, dia seangkatan sama Kak Tiar. Mau
tahu siapa?” tanya Fera. Aku mengangkat daguku, memaksa Fera segera
memberitahuku. “Kak Ciko,” jawab Fera antusias.
Aku mengingat siapa saja teman seangkatan ku yang bernama
Ciko. DEG. Tubuhku melemas saat aku tahu bahwa satu-satunya teman seangkatanku
yang bernama Ciko hanya satu orang, yaitu Ciko Bramantyo anak kelas IPS-1 dan
dia adalah mantan pacar kecelakaanku. Rasanya ada rasa tidak terima saat Fera
mengatakan bahwa Ciko sekarang menjadi pacar baru Fera. Rasa sesak ini sama
seperti yang dulu pernah aku rasakan. Rasa sakit akibat dikhianati oleh orang
yang aku sayang. Tunggu! Sayang? Apa iya aku menyayangi Ciko? Dikhianati? Tidak
juga, karena statusnya adalah mantan, bukan lagi kekasihku. Jadi, aku tidak
pantas merasa dikhianati.
“Hai Kak Ciko! Sebentar aku bayar buku dulu ya? Kak Ciko
ngobrol sama Kak Tiar dulu aja. Dia temennya Kak Vero yang sering aku ceritakan,” kata Fera ketika sosok
masa laluku itu datang menghampiri kami berdua. “Kak Tiar, ngobrol-ngobrol aja
dulu!” kata Fera kepadaku. Aku tersenyum manis atau lebih tepatnya, senyum yang
sengaja dibuat manis.
Fera meninggalkan kami berdua. Ciko berdiri di sebelah
kiriku membaca novel yang tertata rapi. Sementara aku mencoba tidak terus-terusan
memperhatikan wajahnya yang tampan. Dia terlihat lebih dingin dan cuek, sejak
tadi matanya sibuk membaca buku dan tak menyapaku sama sekali, untuk melirik
atau tersenyum tipis pun tidak. Ciko layaknya es batu yang hidup. Dia berubah
menjadi garis lurus, garis lurus dengan sudut 180 derajat.
“Lo berubah,” kataku memberanikan diri memecahkan
keheningan. Namun sayang, Ciko tidak meresponku, dia masih asik membaca novel
yang digenggamnya “Kenapa lo jadi cuek kaya gini? Kenapa lo berubah? Mana Ciko yang
bawel dan nyebelin itu? Mana Ciko yang dulu?” aku menyerangnya dengan banyak
pertanyaan. Jujur saja,
perubahan Ciko yang berlebihan ini membuatku khawatir.
“Perubahan gue yang menurut lo 180 derajat ini udah berlangsung sejak lima bulan
yang lalu. Sikap gue bukan topeng ‘lagi’
ini bener-bener real seorang Ciko,”
jawabnya tanpa memandangku. Bahkan melirikku pun tidak.
Hatiku menolak penjelasan Ciko. Hatiku menginginkan Ciko
yang menyebalkan, Ciko yang bawel dan sering membuatku kesal, bukan Ciko yang sedingin
es batu. Tiba-tiba saja aku menginginkan Ciko kembali padaku, bukan sebagai
pacar kecelakaan tapi benar-benar pacarku. Keterlaluan memang, menginginkan
seseorang yang dulu pernah di sia-sia kan untuk menjadi kekasihnya lagi dan kini seseorang itu telah menjadi milik
orang lain. Hanya orang yang tidak berperasaan yang melakukan itu. Dan… orang
itu adalah aku. Tiar Pratama. Mantan
pacar kecelakaan Ciko.
“Aku udah selesai nih! Kami duluan ya, Kak Tiar!” kata Fera sambil merangkul
lengan Ciko dan meninggalkanku sendirian. Ciko sering pergi meninggalkanku dan
menyisakan kebingungan untukku. Dan kali ini, Ciko pergi meninggalkanku, menyisakan
setitik luka yang amat dalam dan menyakitkan. Kepergiannya berbeda dari
sebelum-sebelumnya. Kepergiannya membuat air mataku
membasahi kedua pipiku.
THE END
Cara penulisannya keren, ceritanya bagus sih.. cuma ya konfliknya udh bagus tapi endingnya itu loh ngegantung:3 hehe
BalasHapus@Bestherina_Best