Tak terasa sudah hampir 9 bulan Miya
mengandung, dan hari ini Miya akan melakukan USG. Betapa lengkapnya
kebahagiannya nanti jika dia memiliki suami yang baik dan seorang buah hati.
Miya
adalah seorang wanita berusia 25 tahun yang sebentar lagi akan menjadi ibu.
Saat ini Miya sedang duduk di salah satu kursi ruang tunggu di rumah sakit
sambil sesekali membelai perutnya. Dia menunggu suaminya datang, berharap sang
suami bisa menemainya di dalam ruang USG.
Sembari
tetap menunggu, pikiran Miya melayang-layang. Begitu cepat waktu berlalu. Tapi
kejadian itu seperti baru kemarin, kejadian 18 tahun yang lalu…
Saat
itu Miya kecil masih berusia 7 tahun, dia tengah berlari-lari di taman rumah sakit.
Tiba-tiba Miya mendengar suara orang memangis, Miya mencari tahu asal suara dan
menemukan seorang laki-laki yang sedang menangis.
“Kenapa
kamu nangis?” tanya Miya polos sambil memberikan saputangan miliknya. Dengan
ragu laki-laki itu menerima saputangan dari Miya dan mulai mengusap air
matanya.
“Ibuku
sakit,” jawabnya jujur.
“Kamu
kan laki-laki, jangan nangis ya. Namaku Miya, namamu siapa?” Miya mengulurkan
tangannya.
“Aku
Sean,” balas Sean sambil menyambut uluran tangan Miya.
“Kita
bisa jadi teman kan?” Miya pun tersenyum lebar saat Sean mengangguk padanya.
Hari ini Miya mendapatkan teman baru.
Sejak
saat itu, Miya sering bertemu dengan Sean. Pada dasarnya Miya memang harus ke
rumah sakit sepulang sekolah karena ayahnya yang bekerja di rumah sakit tidak
mau jika Miya harus di rumah sendirian. Jangan tanyakan tentang ibunya, beliau
meninggal saat melahirkan Miya.
Sedangkan
Sean, dia juga harus terus datang ke rumah sakit sepulang sekolah untuk menjaga
ibunya yang sakit. Ibunya yang malang itu mengalami peristiwa kecelakaan yang
memaksanya untuk tidak sadarkan diri di ICU.
Hari-hari
terus dilewati. Baik Miya maupun Sean sudah tumbuh besar. Miya tumbuh menjadi gadis 12 tahun yang cantik,
berambut panjang lurus sebahu dan Sean tumbuh menjadi laki-laki 12 tahun
berambut emo yang tampan. Kini mereka berdua sudah menjadi sahabat dekat, kemana-mana selalu
bersama. Mereka pun bisa bersekolah di SMP yang sama, ya… itu semua
direncanakan. Sifat ceria dan penuh semangat Miya selalu membuat Sean tersenyum.
Begitu juga Miya, dia kagum dengan sosok Sean yang cerdas dan perhatian.
“Sean!
Gue nggak bisa yang ini, bantuin dong!” rengek Miya sambil menarik-narik
seragam Sean.
“Itu
gampang, tinggal lo tambah semuanya terus dibagi,” balas Sean enteng.
“Gini,
ya?” tanya Miya sambil memperlihatkan pekerjaanya.
“Nah
itu bisa, pinter!” seru Sean sambil mengacak-acak rambut Miya. Miya yang
diperlakukan seperti itu langsung manyun.
Begitu
banyak waktu yang mereka lewati bersama. Meskipun sebenarnya sepulang sekolah
Miya sudah tak perlu lagi datang ke rumah sakit, Miya tetap datang karena dia
ingin menemani Sean yang menunggui ibunya. Karena di sekolah mereka tidak
sekelas, hanya rumah sakit yang menjadi tempat mereka bercanda bersama. Semakin
lama Miya semakin hanyut dalam perasaannya, dia jatuh cinta pada Sean. Sampai
suatu saat, Sean melenyapkan perasaannya.
To:
Sean
Sean,
kenapa lo tadi nggak berangkat sekolah? Lo nggak kenapa-kenapa kan? Ajarin gue
PR Biologi dong, ke taman rumah sakit sekarang, ya.
Nomor
yang Anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi…
Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif.
Cobalah beberapa saat lagi…
“Sialan! Sean kemana, sih?” tanyanya pada
dirinya sendiri. Miya lalu berjalan menuju ruang tempat dimana ibu Sean dirawat.
Mungkin saja Sean sedang menunggu ibunya. Namun ketika dia mengintip, kamar
rawat itu… kosong.
Melihat suster yang kebetulan lewat, Miya
bertanya, “Sus, ibu yang dirawat di sini dimana, ya?”
Suster itu memasang wajah berpikir dan
kemudian menjawab, “Oh, ibu itu sudah dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri.
Rumah sakit ini tidak punya fasilitas yang cukup memadai untuk menyembuhkannya.
Kalau begitu, saya pamit dulu, ya. Masih banyak pekerjaan.”
BRUK
Tubuh Miya melemas seketika, dia tak mampu
menopang berat tubuhnya. Bulir-bulir air jelas meluncur dari sudut matanya. Jika
hati Miya diibaratkan pada sebuah gelas kaca, mungkin gelas itu sudah tak
berbentuk lagi, pecah berkeping-keping dan tak mungkin kembali.
“Sean jahat! Sean jahat! Sean…” Umpatan demi
umpatan keluar dari mulut Miya tatkala dirinya tetap tidak bisa menghubungi
Sean.
Setelah kepergian Sean yang tanpa kabar,
Miya menjadi gadis yang pendiam dan pemurung, bahkan anti-sosial. Dia jarang
bertegur sapa dengan orang lain, pada jam istirahat dia tak pernah keluar
kelas, dia lebih memilih berdiam diri di kelas. Ayahnya pun hanya bisa prihatin
melihat perubahan sikap putri tunggalnya.
Selama bertahun-tahun Miya mencoba untuk
tidak percaya lagi pada orang lain, ia tak mau berakhir seperti hubungannya
dengan Sean. Sampai suatu saat, Miya dihukum oleh Ketua Osis karena salah
membawa bahan MOS. Miya pun dihukum, dia harus berdiri di tengah lapangan
sampai siang. Di saat haus-hausnya, seorang laki-laki datang padanya.
Mulai saat itu, Miya tak terlalu menutup
dirinya. Meskipun hanya berteman dengan satu orang saja, itu lebih baik
daripada dia tidak mempunyai teman sama sekali. Laki-laki itu bernama Fian, dia
adalah laki-laki yang cukup menyebalkan. Fian juga sering bercerita tentang
gadis yang dia taksir, dia terlihat terbuka pada Miya. Namun Miya tidak, dia
tak cukup berani untuk menceritakan masa lalunya dengan Sean.
“Wah, lama nih kita nggak makan bareng di
kantin,” ucap Fian sambil menyedot jus mangganya.
“Iya, lama banget. Nggak kerasa kita udah jadi
murid kelas XI, padahal kayaknya baru kemarin kita MOS.” Miya menerawang.
“Ciee, kenangan buruk masa MOS,” ejek Fian.
“Ah, rese lo!”
Ketika Miya dan Fian sedang memakan nasi
goreng pesanan mereka, samar-samar mereka mendengar obrolan tiga siswi yang berada
tak jauh dari mereka.
“Gilaaa! Murid baru tadi ganteng banget,
ya.”
“Bener banget, katanya dia pindahan dari
luar negeri.”
“Mau dong jadi pacarnyaa!”
Miya hanya geleng-geleng mendegarkan
penuturan siswi-siswi yang menurutnya berlebihan itu.
“Siapa sih yang mereka maksud?” tanya Fian
penasaran.
Miya mengendikkan bahu. “Mana gue tau!”
“Emang cewek aneh lo, biasanya cewek-cewek
pada ribut kan kalau ada cowok ganteng. Nah elo, parah banget.”
.
“Kenapa
ini harus terjadi sama gue??” teriak Miya dengan keras. Suasana sore di taman
rumah sakit yang sepi membuatnya berani berteriak. Bukan apa-apa, dia hanya
kesal dengan kepenatan dunianya. Terdengar berlebihan memang, tapi Miya akan
lebih lega setelah berteriak. Dan tanpa sadar, air matanya mulai menetes.
Sekuat apapun seorang perempuan, akhirnya akan menangis juga.
“Kenapa
nangis?” tanya seorang laki-laki. Dia duduk di samping Miya. Miya melirik ke
arah samping dan mendapati seorang laki-laki berambut emo.
Mirip
seperti Sean, tapi bukan… dia kan murid baru itu. Lagipula laki-laki ini kan
kakak kelasku, sementara Sean sederajat dengaku, batin Miya.
“Kok
diem? Nih, pakai saputangan ini.” Laki-laki itu memberikan saputangan biru
bergambar beruang pada Miya.
Awalnya
Miya terdiam, tapi kemudian dia langsung menatap laki-laki di depannya dengan
tatapan tak percaya. Ia yakin, saputangan itu miliknya. Saputangan yang pernah
ia berikan pada Sean.
“Kau
bukan Sean!” ucap Miya tak percaya.
“Namaku
Sean. Kau mengenalku?”
“Tidak!
Sean seharusnya kelas XI, bukan kelas XII!”
“Itu
mudah. Di Australia aku ikut program akselerasi.”
Tanpa
banyak berpikir lagi, Miya langsung menghambur ke pelukan Sean. Dia tidak pedul
lagi, dia sangat merindukan Sean.
“Sudah
kuduga. Awalnya gue ragu karena liat sikap lo yang berbanding terbalik sama
sikap Miya yang dulu gue kenal. Tapi sekarang gue ngerti, lo Miya.”
“Gue
berubah karna lo, Sean. Gue nggak ngerti apa alasan lo ninggalin gue tanpa
kabar, tapi gue pengen lo ngerti. Gue sayang sama lo!”
“Gue
juga sayang sama lo. Kita jalanin dulu ya hubungan ini.” Miya pun mengangguk di
pelukan Sean.
.
“Sayang,
lama banget ya nunggunya? Maaf tadi ada meeting dadakan,” ucap seorang
laki-laki muda yang gagah dengan mengenakan setelan jasnya.
Miya
tersadar dari lamunannya. Entah sudah berapa lama dia melamun, melamunkan masa
lalunya. Sungguh indah, semua kenangannya ada di rumah sakit ini.
Ceritanya bagus banget :')
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus