Penulis: Angginistanti Fairuz Hanun
Tempat: Bank
Jari-jemari
Gamma mulai lihai menggunakan Game Portable miliknya. Tenggelam dalam
keseriusannya memainkan permainan
bertaruh nyawa. Kedua bola matanya sama sekali tak terusik dan berpindah dari
tatapannya ke layar permainan. Earphone
menggantung di kedua belah kuping, setiap irama musik diikuti pergerakan kepala Gamma ke kanan
atau ke kiri. Di meja belajarnya terdapat laptop yang sedari tadi
dihiraukan.
Melampiaskan
hasratnya untuk bermain karena hal ini sudah lama ia tak lakukan. Ya, hampir 2
bulan ia sama sekali tidak menyentuh Game Portable itu, karena untuk
kali ini ia tak mau jabatan lulus dari
sarjana tidak ia raih lagi. Ia terhanyut di permainan. Sehingga ponsel nya yang
sedari tadi berbunyi sama sekali tidak dihiraukan oleh pria itu. Ya, mungkin
dapat dikatakan otaknya telah dipenuhi setiap game, game, dan game.
15 Menit…
30 Menit…
Pada
menit ke 45 segalanya berubah. Gamma mengakhiri pergumulannya dengan game yang
menguras waktunya itu. Menghampiri lalu
mengotak-ngatik layar ponselnya. Tertera
nama ‘Keisha’ di layar dengan 5 pesan di bbm bertuliskan kata yang sama yaitu “PING
!!!” sama sekali belum dibaca sebelumnya.
Tidak ada respon yang istimewa
dari Gamma, hanyalah tampang datar menatap ke jam dinding yang saat ini menunjukkan
pukul 9 lebih 10 menit, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke sisi belakang
bangku tepat di belakangnya lalu menerawang ke setiap sudut di langit-langit
ruangan.
Memutar otak, berpikir
apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Hening, yang tersisa hanyalah
beberapa binatang malam yang terdengar samar-samar, dan angin malam yang masuk
lewat celah-celah jendela serta mulai merasuki tulang rusuk Gamma.
”Hufft,” dengus Gamma ringan, seraya mengambil Game Portable
tadi lalu menjatuhkan seluruh tubuhnya di kasur pendek tepat disudut ruang. Ya,
ia kembali melakukan pergumulannya dengan game tadi.
***
Mentari mulai menunjukkan seluruh badannya kepada setiap
insan sedikit demi sedikit. Kembali dari istirahatn di peraduan. Kedamaian di
langit yang terjadi justru jauh berbeda dengan keramaian di seantero kampus.
Gamma berjalan gontai dengan tatapannya yang kosong menyusuri lorong kampus,
sama sekali tak peduli dengan orang orang yang menabrak keras bahunya sedari
tadi.
”Drrrt Drrt Drrrt”
Jeritan ponsel Gamma mulai bergetar di saku celananya. Ini
sudah kesekian kalinya ponsel itu mengganggu dirinya. Dengan kesabaran yang
mulai menipis, Gamma merogoh saku lalu mengambil ponsel, tertera 8 missedcall
yang entah bersumber dari siapa,
hanya tertulis Unknow Number. Tidak mempedulikan panggilan tidak
terjawab yang mengganggu, Gamma terus mengangkat kakinya untuk memulai
aktivitas hari ini.
Rasanya ia ingin keluar dari kewajibannya untuk
menyelesaikan skripsi nya dan menghabiskan waktunya untuk beristirahat. Ia
lelah dengan semuanya.
***
Pelajaran pertama telah dimulai
sejak 23 menit yang lalu. Presentasi sekelompok mahasiswa memang bukanlah
kegiatan yang dapat menarik minat, dan bahkan hal ini sangat membosankan. Tapi,
mengapa hal ini menjadi sebuah prioritas yang wajib diberikan oleh dosen kepada
siswa sebagai tugas??Entahlah~
“Ini masih lama, sha?” bisik
Gamma kepada teman sebangkunya dengan intonasi yang sangat pelan.
“Belajar aja baru sekita 20 menit,
Gam,” balas Keisha cuek, tetap serius memerhatikan layar LCD didepan kelas,
tersusun atas kalimat kalimat yang mungkin berharga bagi segelintir orang.
“Pfft, gue ngantuk tau gak!”
gerutu Gamma, menghela napas singkat, lalu mengetuk-ngetukkan bolpoinnya diatas
meja.
“Ya terus? Gue enggak tuh!”
sambar Keisha yang masih diam terpaku dengan LCD, saat ini Keisha seperti
dihipnotis oleh LCD itu.
“Bohong!! Buktinya, mata lo
merah,sha!” cowok ini menudingkan jari telunjuknya tepat didepan mata Keisha,
ucapannya sedikit menebak.
“Sshhh, sok tau lo ah! Awas!!” pekik
Keisha, menepis tangan Gamma yang menghalangi penglihatannya. Cowok ini memang
menyebalkan.
“Yah, sorry! Gue bercanda,” Umpat
Vino cengengesan, menjatuhkan punggungnya kesisi belakang bangku.
***
“Tap Tap Tap”
Derap langkah Gamma ikut meramaikan keriuhan di bank yang
sudah dipenuhi puluhan nasabah untuk melakukan transaksi di tempat penyimpanan
uang ini. Antrean cukup panjang bak pembagian sembako harus dilewati Gamma
untuk sampai ditujuannya, yaitu menyimpan uang. Rasanya ia ingin secara
langsung menghempaskan tubuhnya di kasur yang sangat empuk sekarang. Saat ini
ia sudah menggila, dengan jam kampus tadi serta disuruh menunggu untuk
menyimpan uangnya di bank.
“Sial, gue dateng
disaat yang gak tepat. Banyak banget orangnya” umpat Gamma dengan tatapan sayu
melihat ke jam tangannya lalu melirik ke setiap orang yang menurutnya aneh.
Melirik kanan dan kiri, entah bagaimana cara ia mengusir
rasa bosan diantara orang orang yang menyebalkan baginya. Tangisan bayi pun
juga ikut membuat rasa bosan Gamma
menjadi bertumpuk-tumpuk. Padahal, ayahnya dulu adalah pegawai di sini.
Baginya, keluarga pegawai didahulukan terlebih dulu seharusnya. Tiba-Tiba
wanita di depan Gamma didatangi seorang gadis berseragam putih biru.
“Anak smp? Kok tinggi? Segitu pendek kah gue,” Ucapan
hati Gamma dengan tatapan sinis melihat gadis di depannya yang tingginya sama
dengannya. Bayangkan saja, Gamma yang berumur 23 tahun dengan siswa smp yang
berumur 12-15 tahun tingginya sama, bahkan lebih tinggi daripada Gamma.
“Gue dulu freak banget disini,” kejadian saat
pertama kali ke bank terputar seolah roll film Kejadian itu samar-samar hadir di
memorinya.
*flashback on*
Untuk pertama kalinya Gamma ke bank, Gamma berniat untuk
mendaftarkan diri menjadi nasabah. Pintu dibukakan oleh satpam bak seorang raja
yang dibukakan pintu oleh pegawainya.
“Dih? Satpam jadi tukang buka pintu doang? Kurang
kerjaan, mending main game. Pake senyum sok manis segala lagi. Kalau
satpam lebih baik serem, biar penjahat takut semua” Ucap Gamma dalam
hati.
“Permisi, Pak. Daftar jadi nasabah di bagian mana yaa?”
“Di sebelah sana, Dek” Ucapnya sambil menunjuk ke satu
arah. “Maaf sebelumnya, untuk anak sekolah diharapkan mendaftar bersama dengan
orang tua atau wali,” Lanjutnya
“Kok gue dibilang anak sekolah? Sial nih satpam,” umpat
Gamma memutar bola matanya kesal dan berharap ia bisa mengeluarkan isi perut
sang satpam ini, lalu berterima kasih dengan tatapan sinis dan berlalu masuk
tanpa berkata-kata lagi.
*flashback off*
“Ya tuhann, apa tinggi gue gak akan
nambah lagi?”
Beberapa orang telah menyelesaikan transaksinya dengan
bank tersebut. Tapi, sepertinya masih banyak manusia yang harus dilewati Gamma sebelum
sampai di ujungnya. Hufft. 20 menit berlalu, dengan sangat bangga ia keluar
dari antrean yang masih panjang di belakangnya.
“DIAM DI TEMPAT! SEKALI LO BERGERAK SEDIKIT NYAWA LO
LANGSUNG MELAYANG!” Gertak pria bertopeng kupluk yang hanya terlihat matanya saja,
tangannya sudah sergap siap menembak dengan pistol. Ya, akan terjadi perampokan
dengan hanya satu perampok.
“Tuh kan ada perampok, satpamnya terlalu ramah sih.”
Umpat Gamma.
Seluruh insan yang berada di dalam bank lantas takut,
tapi hanyalah diam yang bisa dilakukannya. Ketakutannya lebih tinggi dari pada
yang lain pada saat ini. Tapi Gamma dengan santainya ia melihat dengan seksama
si perampok, ia penasaran. Tiba-tiba, seorang gadis kecil berdiri maju kedepan
dengan pistol yang dipegangnya untuk siap menembak.
“Kalau om berani, om aku tembak!” ucap gadis mungil itu,
seantero bank hanya bisa ketakutan dan cemas terhadap apa yang akan dilakukan
oleh sang perampok.
“Gila, serem banget bocah ini. Orang tua nya mana?” Akal
Gamma penuh dengan rasa kagum dengan gadis kecil yang berani melakukan hal
segila ini.
“Aduh, adek kecil ngajak om main tembak-tembakkan ya,”
sergah perampok dengan wajah tanpa dosanya.
“DORRRR!!!”
Tak disangka, dengan sekali tekan gadis mungil itu
menembak perampok ini. Satu tembakan melayang ke perut si perampok. Semua
nasabah, teller, atau siapapun yang berada bank ini tercengang melihat
sebuah kejadian aneh bin freak yang belum pernah dilihat sebelumnya.
“Hah?! Pistol asli?! Gue yakin, itu bocah orang tua nya
intel!” Ucap Gamma dengan suara cukup kecil, matanya terbuka lebar.
***
“Halo? Iya sabar. Tapi gue mau ke bank dulu. Kalau gak
rame paling 15 menit doang, tunggu gue ye. Awas lo ninggalin gue!”
Gurauan Gamma berbicara dengan ponselnya sendiri sembari
memasukki bank lalu menyimpan ponsel nya di dalam saku celananya. Kembali lagi
si satpam yang dulu saat Gamma mendaftar menjadi nasabah membukakan pintu
disertai dengan senyum yang bagi Gamma itu sok manis dan menjijikan.
“Satpam ini gak ditegur sama polisi? Aneh.”
Permasalahan saat itu, dimana perampok di tembak oleh
anak kecil sangat ramai menjadi perbincangan. Seluruh nasabah maupun teller yang
sedang beraktivitas disana dipanggil polisi untuk dimintai keterangan sebagai
saksi.
*flashback on*
“Jadi, kamu sedang apa saat di bank itu?” tanya pak
polisi dengan tegas.
“Latar di sini sama di sinetron beda. Kalau di sinetron
pake mesin tik, tapi ini kok pake komputer ya? Canggih!” Umpat Gamma. “Saya,
baru saja keluar dari barisan nasabah setelah menunggu 45 menit, tiba-tiba
perampok itu datang.”
“Coba cerita kan alur menurut kamu!”
“Saat itu setelah saya menyimpan uang, datang perampok
dengan sombong nya memegang pistol. Tiba-tiba, bocah itu memegang pistol lalu
perampok itu ditembak. Hebat anak itu,Pak!” jelas Gamma
“Sudah-sudah,”
*flashback off*
Satu lagi hal yang ia sangat tidak sukai, menunggu. Saat
ini, yang seharusnya ia sudah duduk manis di mobil menuju perjalanannya ke
Solo, malah dihabiskan untuk mengantre di bank kemarin.
“Ini nasabah gak ada yang kapok! Kok masih rame aja ya?
Apa gak ada yang takut ada bocah nembak pake pistol asli? Hmmm,”
Kiriman soulidd ya?
BalasHapus