Hai… perkenalkan… namaku Alaqua
Fletta Putri Nusantara. Aku sering dipanggil Fletta oleh teman-temanku. Aku
berasal dari Jerman, namun kini aku tinggal di Semarang, dan agamaku agama
Islam. Aku duduk di bangku kelas 10 di SMA Nusantara di Semarang. Langsung saja
kita menuju ke kisah hidupku yang cukup miris.
Cita-citaku sejak dulu adalah
menjadi seorang penulis. Dan aku berteman dengan beberapa penulis dari luar
Jawa, salah satunya adalah Aceline Faustine. Gadis berdarah Perancis yang
berhasil membuat novel best seller. Gadis ini tinggal di Mataram, yaitu ibukota
dari Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Aceline adalah sahabatku sejak kelas
8. Kami berteman lewat jejaring sosial Facebook. Setiap kali aku mendapat
cobaan, aku selalu mencurahkan semuanya kepada Aceline, dan Aceline pasti
memberi solusi tentang masalahku. Namun, kami sama
sekali belum pernah bertemu, karena jadwalnya yang padat dan sibuk sebagai
seorang penulis.
“Aceline… kapan kita akan bertemu? Sudah 3 tahun kita bersahabat,
namun kita tak pernah bertemu,” tanyaku melalui pesan singkat.
1 jam kemudian… Aceline membalasnya “Maaf Fletti… aku baru
bisa balas pesanmu. Aku baru saja menjalani redaksi di Jakarta. Sebentar lagi
itu liburan semester ya? Mungkin jadwalku tidak terlalu padat saat itu. Mungkin
aku akan ke Semarang,”.
“Kita bertemu
dimana Aceline? Sebutkan satu tempat di Semarang yang kamu tau!” seruku melalui
pesan singkat.
“Minggu pertama
saat liburan semester kita akan bertemu. Perpustakaan kota Semarang, itu adalah
tempat favoritku,” balas Aceline beberapa menit kemudian.
“Baiklah. Jangan
lupa!” balasku dengan singkatnya, lalu mengakhiri pembicaraaanku dengan dia.
Malam yang indah
di kota Semarang, meskipun udaranya cukup panas. Namun, aku tetap bersyukur bisa
melihat malam ini.
Aku memandangi
langit malam dari balkon di kamarku, sembari duduk di kursi berwarna coklat
tua. Memandangi bulan Purnama yang indah, serta bintang-bintang yang bersinar
di atas sana. Kulihat salah satu bintang yang cukup terang, yaitu Sirius. Aku
membayangkan diriku menjadi Sirius, menyinari galaksi ini dengan jutaan bintang
lainnya, bagaikan sejuta mimpi dan harapan. Membuktikan diriku mampu untuk
melakukannya cukup sulit, bahkan perlu pengorbanan.
Sejenak kulupakan
semua itu, kuingat kembali pesan-pesan bijak yang selalu diucapkan oleh Aceline
“Kamu pasti bisa mencari cowok yang lebih baik dari sebelumnya. Kalau kamu
putus, jangan nangis, seharusnya kamu bahagia, artinya kamu telah melewati satu
tangga untuk menemukan pasangan hidupmu. Kita berdua akan mencari cowok buat
kamu. Bersama sahabat, pasti bisa mencari pacar. Bersama pacar, belum tentu
bisa mencari sahabat sejati,”.
Aku berpikir,
Aceline itu adalah gadis yang paling baik menurutku. Dan dia adalah sahabat
sejati bagiku. Aceline layak mendapatkan gelar sebagai ‘Gadis Ter-bijak’. Gadis
ini sangat jarang mengeluh, pendiriannya sangat kuat, tidak seperti gadis-gadis
muda lainnya.
Prang! Fotoku
bersama keluargaku tiba-tiba pecah, membuatku terkejut. Padahal, situasinya
sedang normal-normal saja. Aku segera membersihkannya. Perasaanku menjadi tak
enak saat memandangi foto itu, kekhawatiran ini datang tiba-tiba tanpa alas an
jelas. “Tuhan… Apa yang terjadi?” tanyaku dalam hati.
1 menit… 5 menit…
10 menit… Ah! Terlalu lama kupandangi foto itu, namun kegelisahan mulai datang.
Kuambil telfon genggam ini, dan menelfon Ayahku. “Maaf nomor yang anda tuju
sedang tidak aktif atau di luar jangkauan …,”.
“Ah! Ada apa sih?
Kenapa aku gelisah? Kenapa aku resah?” tanyaku sambil memutuskan panggilanku ke
Ayah.
“Nona Muda… Nona
Muda!” teriak pembantuku dari lantai 1. Entah apa yang terjadi, namun dari
teriakannya, ini terdengar tak baik.
“Ada apa Bi?”
tanyaku dengan singkatnya.
“Tuan… Tuan dan
Nyonya… kecelakaan…,” ucapnya.
DEG! Jantungku seolah
berhenti berdetak saat mendengarnya. Darahku seolah berhenti mengalir dan
membeku seketika. “What? Kok bisa Bi? Bagaimana ceritanya? Sekarang Bunda sama
Ayah gimana? Sekarang mereka gimana?” pertanyaan bertubi-tubi terus kuucapkan
dan kuberikan kepada pembantuku.
“Mereka ada di
Rumah Sakit Islam Aisyah,” jawab pembantuku.
“Aku akan ke sana
Bi…,” ucapku yang langsung ke bawah dan memerintah supirnya untuk
mengantarkannya.
Sesampainya
disana, aku hanya terdiam dan menangis, menunggu mereka selesai menjalankan
operasi. Setengah jam kemudian, dokter keluar dari ruangan tersebut.
“Dokter…
Bagaimana keadaan orang tua saya Dokter?” tanyaku sambil menangis-nangis.
“Untuk Pak
Wandoko, kondisinya masih tidak apa-apa, masih bisa diselamatkan. Tapi, untuk Ibu
Cantika, sudah tidak bisa diselamatkan,” ucapnya dengan datar tanpa harapan.
“Enggak! Enggak
Dokter! Dokter harus bisa menyelamatkan Bunda saya, berapapun biayanya akan
saya bayar! Bunda adalah segalanya bagiku!” seruku membentak-bentak dokter itu,
sembari menangis-nangis.
“Kak Fletta
sabar! Kak Fletta sabar! Jangan marah-marah…,” ucap adik sepupuku yang masih
berumur 10 tahun ini.
“Gimana mau sabar
Let? Itu orangtuanya Kak Fletta,” ucap Fletta yang setengah membentak adiknya.
“Maaf… usaha ini
sudah kami lakukan semaksimal mungkin,” Dokter itu pergi begitu saja. Aku
langsung menangis sekencang-kencangnya.
3 Hari telah
berlalu, kuhadiri pemakaman Bundaku. Tetes demi tetes air mata kukeluarkan,
menangisi Ibundaku. Rasa bersalah kucurahkan, belum sempat aku minta maaf
kepada Bunda, namun dia sudah pergi meninggalkanku. “Bunda… semoga Bunda
bahagia di Surga sana…,” ucapku sambil menangis dan menaburkan bunga.
Entah apa yang
terjadi selanjutnya. Akankah Ayah akan mengawasiku lebih ketat dari sebelumnya?
Sepertinya iya.
Ayah selalu
melarangku untuk pergi jauh-jauh kecuali bersama dia. Mungkinkah semua ini akan
menjadi hal yang buruk? Semoga saja tidak. Ketika kepergian Bunda menjadi petak
bagiku. Ketika aku harus menghadapi semua ini sendirian. Aceline hanya
mendukungku dari kejauhan.
“Kenapa Ayah
selalu mengekangku? Aku punya salah Ayah?” tanyaku
“Tidak. Ayah
hanya takut kamu terkena sesuatu yang uruk saja,” jawab Ayah dengan santainya.
2 bulan sudah
semua itu kulalui. Kini Ayah sudah tak terlalu mengekangku. Saatnya aku bertemu
dengan Aceline, walaupun Ayah sedikit tidak memperbolehkanku, aku tetap akan
pergi ke perpustakaan itu. Dan, Ayahpun mengizinkanku untuk pergi.
Aku sudah tiba di
Perpustakaan Kota Semarang, namun semua ini hanya berjalan seperti biasa. Tak
ada yang aneh, kalau Aceline datang, mungkin dia sudah dikerubungi oleh
orang-orang seperti berebut makanan.
Kuinjakkan kakiku
di perpustakaan yang besar itu, aku masuk ke dalam. BRUK! Aku menabrak
eseorang, entah itu siapa. Aku membantu dia membereskan buku-bukunya yang masih
berserakan di lantai.
“Maaf ya… aku
tidak sengaja,” ucapku dan tetap membantunya.
“Iya gak papa.
Aku yang salah, bukan kamu,” balas dia.
Kulihat dirinya,
dengan wajah yang bersinar, dan baru kukenali dia. Sepertinya dia juga murid di
SMA Garuda Semarang.
“Kak Andhi?”
sapaku saat kami saling bertatap-tatapan.
“Hai Fletta… kamu
kok disini? Jarang banget kalau kamu ada disini,” tanya Kak Andhi.
“Lagi mau ketemu
sama Aceline Kak… katanya sih disini. Tapi dia belum datang. Sekarang mau
pinjam buku aja,” balasku.
“Aceline? Penulis
itu ya? Kak Andhi pingin ketemu dia, Kak Andhi temenin kamu ya..,” balas Kak
Andhi.
“Iya Kak..,”
ucapku dengan singkatnya, lalu membaca buku di perpustakaan besar itu.
Entah mengapa,
saat aku membaca buku, Kak Andhi selalu memperhatikanku. Aku merasa aneh, dan
tak nyaman. Tiba-tiba dia mengajakku berbicara,
“Dek… aku boleh
ngomong gak?” tanya dia.
“Ya boleh dong..
hak asasi manusia,” balasku dengan remehnya.
“Dek… kamu… mau
gak… jadi… pacarku??” tanya dia dengan perkataan yang terbata-bata.
“Biar aku
pikirkan dulu Kak…,” jawabku.
Dia hanya diam.
Lalu menanyakan keadaannya Aceline. Aku segera menelfon Aceline, namun yang
mengagkat adalah orang tuanya. Dan mengatakan bahwa Aceline tidak di Semarang
karena dia masih ada redaksi. Dan aku mengatakannya kepada Kak Andhi, akhirnya
kami pulang ke rumah masing-masing.
Di rumah,
tepatnya di kamarku, aku hanya memikirkan satu orang, lebih tepatnya Kak Andhi.
Perkataannya membuatku bingung, terima atau tidak. Lalu aku mengirim pesan
singkat ke Aceline, dan dibales oleh dia, itu semua terserah aku. Lalu aku
berpikir, lebih baik aku terima saja.
Aku menelfon Kak
Andhi, dan mengatakan bahwa aku menerimanya. Kak Andhipun senyum bahagia, dan
senang sekali.
Lalu aku pergi
untuk jalan-jalan sendirian, lalu tanpa sengaja aku bertemu dengan Aceline di
perpustakaan.
“Aceline… kenapa
kamu sangat jarang membalas pesanku?” tanyaku.
“Maaf ya Fletta…
sebenarnya aku punya penyakit Kanker. Tadi waktu kamu menelfonku, aku masih di
rumah sakit,” balas Aceline.
“Iya? Kok bisa?
Padahal aku punya 1001 mimpi bersamamu,” ucapku.
“Kita bisa
melakukannya disini,” balas dia dengan mudahnya.
“Bagaimana
caranya?” tanyaku yang langsung kebingungan.
“Berjanjilah
kepadaku, jika aku sudah tidak ada nanti, kamu bisa melewati semua ini sendiri,
jangan banyak ngeluh ya… 1001 mimpi ini kutitipkan kepadamu. Jangan kecewakan
aku ya…,” ucap Aceline.
Tiba-tiba dia
pingsan, entah apa yang ia rasakan, langsung saja kubawa dia ke rumah sakit.
Dan berita mengejutkan terjadi, Aceline sudah meninggal. Aku hanya menangis,
tak kusangka pertemuan pertama ini juga menjadi yang terakhir.
Di perpustakaan
kota Semarang, satu tempat dengan sejuta kenangan bersama Kak Andhi dan
Aceline. Mungkin tak hanya 1001 mimpi yang harus diwujudkan, mungkin sejuta,
mungkin triliyunan.
Perpustakaan ini
tak akan aku lupakan untuk selamanya, tempat yang bersejarah di hidupku,
bersama Kak Andhi dan Aceline. Aku mungkin tak bisa mencari sahabat.
Posting Komentar
Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤