Title: Dream in Love
Author: Selsara (@vyselvia)
Genre: Romance, friendship
Rated: General
Length: Chapter 1/?
Casts: Iqbaal (Coboy Junior), Hani, Rara, Risti
Pemeran pelengkap: Syifa, Dhea
“Mau berapa lama kamu melototin
poster itu?” tanya Ibu setengah heran dengan sikap anak semata wayangnya ini.
“Selama-lamanya pokoknya,”
jawabku serius.
“Bu tau nggak?”
“Tau apa?”
“Kemarin mereka dapat awards di
AMI Awards loh, Bu! Hebat ya…!” sekarang aku berganti haluan. Yang tadinya
menatap poster, sekarang menatap Ibunya sambil memegang erat kedua tangan
beliau. Saking bangga terhadap idolanya.
Ibu hanya menggeleng-gelengkan
kepala menyaksikan sikap buah hatinya. “Iya… iya… Ibu tau. Ini sudah kesekian
kalinya kamu bilang. Sudah, makan siang dulu sana,” ucap Ibu sambil mencubit
gemas kedua pipiku.
***
Langit biru mulai menuangkan
semburat merah jingga di cakrawala. Goresan indah mengukir di langit-langit.
Aku duduk di depan rumah sambil melihat lalu lalang orang yang sedari tadi
lewat. Duduk termenung sambil memikirkan seseorang yang pastinya tidak mungkin
memikirkannya.
Seseorang menepuk bahuku,
refleks aku sontak terkejut. “Eh, kamu Risti…” aku menemukan pelakunya yang malah nyengir setelah melakukan aksinya.
Iya, dia sahabatku dari kecil. Kupanggil dia dengan nama ‘Risti’.
“Hani, kamu lagi ngelamunin apa
sih? Kok sampai aku mondar mandir kayak setrika nggak kamu lirik,” kata cewek
berjilbab itu. Kini ia duduk di sampingku. Menemaniku.
Aku menatap sahabatku sejenak. “Lagi
mikirin Iqbaal. Hmm… dia lagi apa ya? Pengen ketemu… Kamu tau kan rasanya galau
gini? Ah, nggak enakin!” curhatku padanya. Dia meresponku dengan tertawa
terbahak-bahak. Aku cemberut ketika kutemukan dia malah menertawakan omonganku
yang serius.
“Nggak kok… nggak… jangan marah
dulu! Gini loh, Iqbaal itu terkenal, ganteng, sibuk, terus …..” aku tau Risti
bakal bilang kalau mimpiku terlalu tinggi.
“Terus aku sama Iqbaal itu nggak
mungkin bersatu. Nggak mungkin ketemu. Nggak mungkin dekat. Blablabla,” mukaku
langsung pasang tampang bete.
“Bukan gitu! Mimpi boleh kok
tinggi tinggi. Cuma kamu harus sadar posisimu sekarang itu apa,” ceramah Risti membuatku langsung ingin
bergegas memasuki kamar. “Udah ya, Ris. Aku malas berdebat. Bye!” perkataan ini
menutup pembicaraan.
***
Ibu langsung keselek ketika aku mengutarakan tekad
bulatku. “APA? Ke Jakarta?”
Mata Ibu membulat dan merasa aku mulai tidak waras.
“Kamu mau pindah sekolah ke Jakarta? Yakin?” ayah yang dari tadi sibuk dengan
membaca koran akhirnya ikut nimbrung.
“YAKINNN!! 1000 persen!” kataku
bersemangat. “Boleh ya, Bu? Yah, boleh ya?” rayuku setengah memaksa.
“Jangan bilang kalau kamu pindah
ini karena si Lele siapa lah itu,” tebak Ibu berusaha menggali informasi
sedalam-dalamnya.
“Namanya Iqbaal Dhiafakhri
Ramadhan, Bu. Bukan Lele,” ralatku dengan cepat.
“Ibu ya… plis… Ayah, bujuk Ibu
dong untuk merestui impian dan masa depan anaknya ini,” rayuku pada kedua
orangtuaku. Aku berharap misi ini sukses supaya aku bisa terus terusan ketemu
Iqbaal. Yeah!
Ibu bangkit dari kursi dan
merapikan posisi kursi tersebut. “Ibu ke kamar duluan,” kata Ibu lalu pergi
meninggalkan kita berdua.
Aku memalingkan wajah ke arah
ayah. Menatap beliau dengan tatapan menggoda. “Yah, bujuk Ibu ya… Ini demi masa
depanku,” ulangku berharap mendapatkan kata ‘YES’.
“Keputusan ini tidak semudah
yang kamu kira. Di luar sana dunia itu
keras,” ceramah Ayah langsung mendapat respon buruk olehku. “Hoams… Yah, aku ke
kamar duluan ya… Good night, Ayah,” aku mengecup kedua pipi Ayah kemudian
bergegas memasuki alam mimpi. Berharap malam ini bisa memimpikan personil Coboy
Junior kebanggaannya itu. Ya, seandainya mimpi boleh direquest sesuka hati.
***
1 minggu kemudian…
“APAAAA?? Dibolehin? Seriusssss?
YEAHHHHH” kataku seperempat teriak karena begitu bahagia.
Kedua orangtuaku yang cantik dan
ganteng ini hanya bisa menatap heran melihat tingkah lakuku. Mungkin dalam hati
Ibuku, beliau sedang memikirkan dulu waktu aku masih di perut beliau ngidam apa
sampai dia bisa melahirkan anak yang cerewet kayak aku gini.
Ibu mulai berbicara. “Iya, kamu
boleh ke Jakarta. Kamu boleh pindah sekolah yang kamu mau asalkan kamu ke sana
sama mbak Syifa yang kebetulan mau melanjutkan SMA di Jakarta,” Ibu akhirnya
memberikan lampu hijau. Syifa adalah sepupu aku. Kita hanya berbeda satu tahun
tapi karena dia sempat ikut aksel makadari itu sekarang dia sudah mau menduduki
bangku SMA. Mbak Syifa juga orangnya easy going dan enak diajak ngobrol jadi
bayanganku tentang masa-masa di Jakarta mulai bermunculan.
“Oke, bos! Siap!” kataku sambil
hormat.
“Jangan lupa untuk tidak terlalu
baik sama orang yang tidak dikenal! Jangan mudah percaya sama orang! Jangan
boros! Jangan lupa waktu kalau berpergian!” tidakkkk… kenapa Ayah malah jadi
berkhotbah begini. Aku hanya nyengir sambil mengucapkan kata ‘ya’ agar Ayah
senang mendapatkan respon yang beliau inginkan.
“Yasudah, Bu, Yah… Aku packing
dulu ya… Kan besok sudah mau merantau,” kataku bernada bahagia campur sedih.
Bahagia karena keinginanku sebentar lagi bakal terwujud. Sedih karena harus berpisah
sementara sama kedua orangtuaku. Hah, kenapa di dunia ini musti ada yang
namanya ‘sedih’ sih. Arrgghh…
***
Aku sibuk dengan duniaku yakni
memeriksa semua barang apakah ada yang tertinggal atau tidak. Sepertinya semua
sudah siap. Handphone, bawa. Kartu ATM, bawa. Dompet, bawa. Hati buat ketemu
Iqbaal, yap… bawa!
“Han, kamu mau pergi ke mana? Kok bawa tas banyak?” Risti tampak kanget
melihatku keluar membawa tas jinjing dan juga koper.
Deretan gigi yang mempesona kuperlihatkan.
Aku tersenyum pada sahabat yang berada di depanku saat ini. “Aku mau pergi ke
Jakarta, sob,” jawabku senang. Iya, aku memang sedang berbahagia karena
impianku sejak tahun 2011 yaitu ketemu Coboy Junior terutama Iqbaal sudah
sedikit menemui titik temu. Dari dulu aku ingin ketemu tapi banyak sekali
kendala. Kendala terberat adalah belum mendapat restu dari orangtua.
Risti malah mencegahku untuk tidak pergi. “Han, kamu nggak pergi gara-gara
….” Belum selesai Risti mengucapkan kalimatnya aku langsung berkata, “Nggak
lah. Aku nggak mungkin pergi hanya karena kemarin kemarin kita cekcok mulut.
Kamu kira ini sinetron atau fanfiction apa. Aku pergi ke Jakarta dan
melanjutkan sekolahku di sana karena ….. impianku, karena mimpi-mimpiku,” kataku
sambil melepas genggaman Risti yang berusaha untuk aku tetap tinggal di kampong
halaman.
Ekspresi Risti langsung berubah seketika. Tak ada lagi segores senyuman
yang tertempel di raut wajahnya. Dia sedih. Apakah bersedih karenaku? Ah… itu
pasti. Aku juga sedih meninggalkan Risti yang sudah kuanggap seperti saudara
sendiri yang hari ini berantem besok sudah baikan lagi.
“Jaga diri baik baik ya,” pesanku sambil menepuk bahu Risti. Dia malah
berusaha nyengir padahal ada tetesan air mata yang mengalir. “Yeee… harusnya
aku yang bilang gitu tau!”
“Haniiii… Yuk! Mbak Syifa sudah siap nih. Let’s go!” seru mbak Syifa yang
langsung masuk ke dalam mobil.
Kupeluk erat Risti lalu kulepaskan. Aku salim kedua orangtua serta mengecup
pipi Ibu. “Aku pergi dulu ya semua!” ucapku kemudian pergi dan memasuki mobil.
Di dalam mobil aku sempat melambaikan tanganku. Mobil pun melaju menuju
Jakarta.
***
Sampai di Jakarta…
Aku dan mbak Syifa turun di depan rumah sederhana berwarna abu-abu. Rumah
itu terdapat dua pohon besar yang rindang. Di situlah, kita berdua tinggal. Kebetulan
rumah itu sudah disewa sama orangtua kita jadi nggak perlu deh yang namanya
nge-kost.
Mataku sibuk menjelajah sekelilingku. “Mbak, ini di jalan apa sih? Kok
kayak nggak asing gitu,” aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
“Jalan Pondok Kopi, Hani,” jawaban singkat itu membuatku berpikir keras. Jalan
Pondok Kopi… Itu kan…
“HAH?? Pondok Kopi? Itu kan jalan rumah Iqbaal,” aku memegang tangan mbak
Syifa dan mengajaknya untuk loncat loncat. “Yey!!”
Mbak Syifa mengajakku untuk masuk ke dalam. “Heh, Han, mau sampai kapan
kita di luar. Masuk yuk ntar dikira kita anak hilang lagi,”
“Yukkkk!” aku langsung bersemangat 45.
***
Adzan maghrib sepertinya akan berkumandang karena hari sudah semakin gelap.
Suara orang mengaji yang terdengar dari sini memang tidak terlalu nyaring
sehingga aku bisa menebak jarak rumah ke masjid itu agak jauh. Tapi meskipun
begitu aku bersemangat untuk shalat di masjid. Aku sudah siap untuk
melaksanakan kewajibanku sebagai umat Muslim. Langkahku dengan masjid tinggal
sebentar lagi sampai. Masjid megah itu sudah ada di depan mata. Selangkah lagi!
Bismillah… Saatnya menunaikan ibadah shalat maghrib.
Dukk! Aku menabrak seseorang atau seseorang itu yang menabrakku, entahlah.
Jam tangan orang itu jatuh. Sepertinya dia sibuk melepas jam tangan tersebut
hingga tak sengaja menabrakku. Aku bantu mengambil jam tersebut. Tangannya juga
berusaha meraih jam itu. Ketika sadar tangan kita bersentuhan, dia menarik
tangannya. Jam berwarna hitam tersebut menjadi kotor. Aku membersihkannya
sampai aku sadar bahwa aku sudah wudhu. Batal deh! “Maaf ya, aku nggak
sengaja,” katanya meminta maaf. Suaranya bagus sekali seperti suara penyanyi
terkenal. Tatapan yang dari tadi fokus hanya ke jam tangan sekarang kualihkan
ke pemiliknya.
“Heh? Kamu??” aku nggak percaya dengan apa yang kulihat. Ini seperti mimpi.
Begitu tak percayanya, aku malah menjatuhkan jam tangan tersebut.
Cowok itu tersenyum.
TO BE CONTINUED
Aku suka , aku suka , haha :D
BalasHapuslanjutin ya;) aku suka sama jalan ceritanya :D
BalasHapusaku suka. next ya.
BalasHapusaku suka, next dong:)
BalasHapusKereen next yaa:D
BalasHapusPuco ini kereen next yaak:D
BalasHapusLanjut ya :)
BalasHapusLanjutin donk
BalasHapusLanjutin yaa puco ;)
BalasHapusSudah, makan siang dulu sana,” ucap Ibu sambil mencubit gemas kedua pipiku.
BalasHapuskayak iklan miee sedapp .. :D
lanjutannya ditunggu
kalimattakbermakna.blogspot.com
Fiksinya bagus kak :D
BalasHapusmampir ke blog aku ya kak snortrom.blogdetik.com
Fiksinya bagus kak :D
BalasHapusjangan lupa mampir ke blog aku ya snortrom.blogdetik.com
Cerita yang menarik :D
BalasHapusTerimakasih atas semua komennya :3
BalasHapusLanjutin ga ya?
keren keren :) nambah inspirasi nih :D
BalasHapus