Sore-sore aku berangkat ke rumah sakit deket rumah. Aku nggak sendiri, aku bersama beberapa anggota keluarga. Suasana rumah sakit bisa dikatakan sepi. Orang-orang yang punya kebutuhan bisa dihitung jari. Saat baru datang, rasanya kayak excited sama nervous dikit, soalnya ini salah satu tahapan buat persiapan umroh. Yap, aku mau vaksin meningitis dan polio karena wajib. Kewajiban vaksinasi polio selain meningitis ternyata baru diberlakukan April 2025 (berdasarkan rilis berita ini).
Pernah nggak sih kamu punya aktivitas yang dulu kamu suka lakukan namun pada akhirnya kamu tinggalin karena berbagai alasan? Terus beberapa tahun kemudian, kamu nemu sesuatu yang bikin api semangat itu berkobar lagi. That’s exactly what happened to me.
Aku masih ingat banget terakhir kali submit artikel ke IDN Times itu tahun 2018. Lama banget ya kalau dipikir-pikir. Bukan cuma setahun dua tahun itu mah. Dulu, waktu awal jadi kontributor, aku tuh semangat 45 banget. Tahun 2018 itu aku cukup aktif nulis di IDN Times. Ide-ide ngalir, semangat masih full bar, dan setiap kali artikel publish tuh rasanya kayak dapet achievement badge. Bawaannya suka buka dashboard kontributor tiap kali online buat mantengin perubahan status. Dengan harapan, banyak tulisan yang statusnya berakhir di Publish.
Sayangnya banyak artikelku yang nggak ada kabar. Bayangin, udah riset, nulis lama, edit berkali-kali, tapi statusnya cuma mandek di On Hold. Aku tahu banyak saingan dan tentu aja kiriman tulisan dari mereka semua nggak cuma satuan dan puluhan, pasti ada banyak banget. Tapi kalau digantung, bawaannya tuh nggak pasti. Faktor itulah yang bikin semangatku mulai kendor hingga akhirnya padam.
Waktu berjalan hingga tibalah September 2025. Lagi asik scrolling Threads, eh aku nemu seseorang yang sharing artikelnya dimuat di IDN Times. Postingan singkat itu bikin aku mikir, "Eh iya ya, aku dulu juga pernah kontribusi di sana. Kenapa nggak coba lagi? Worst case, ditolak dan digantung lagi. Best case, ada yang publish. At least, aku bisa membangun kebiasaan nulis lagi."
And boom... nggak lama, aku memutuskan untuk login lagi ke akun IDN Times-ku yang udah berdebu.
Dewasa ini, kebutuhan desainer grafis profesional terhadap perangkat kerja yang andal dan presisi warna tinggi semakin meningkat. ASUS ProArt PZ13 HT5306QA hadir sebagai solusi premium yang dirancang khusus untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dengan spesifikasi canggih dan fitur kreator kelas atas, laptop ini menjadi pilihan utama bagi profesional yang mengutamakan kualitas dan performa dalam setiap proyek desain.
Sebagai laptop terbaik untuk desain grafis, ProArt PZ13 HT5306QA mengusung layar OLED 3K dengan akurasi warna tinggi serta performa kuat berkat prosesor Snapdragon® X Plus. Keunggulan ini membuatnya ideal digunakan baik di studio maupun saat mobile, tanpa kompromi pada kualitas hasil karya.
Aku rasa postingan kali ini mungkin akan relate bagi sebagian orang.
Aku selalu merasa ada semacam prinsip legendaris yang diturunkan dari keluarga: prinsip “simpan aja, siapa tahu nanti dibutuhkan.” Kayak prinsip ini tuh udah mendarah daging entah sejak kapan. Bahkan sampai hari ini, aku masih sering banget ketemu barang random di tas atau lemari, terus mikir, “kenapa aku masih punya ini?” Tapi ujung-ujungnya, tetap aja aku biarin di situ. Hmm...
Salah dua yang berhasil aku sortir tiap lagi good mood adalah struk ATM dan struk pembelian. Dulu aku punya kebiasaan nyimpen struk ATM di dompet dan juga dalam tas. Masalahnya, struk itu jika dibiarkan terlalu lama cuma numpuk jadi kertas kosong yang tintanya udah hilang tertelan waktu. Aku pernah nyimpan banyak struk kosong. Pas ada salah satu struk yang tintanya masih oke, siapa sangka ternyata itu keluaran dua ribu sembilan belas.
Selain itu, ada juga struk pembelian. Contoh: belanja bulanan atau beli skincare atau aksesoris handphone, kadang aku suka simpen struknya. Kalau buat garansi aktif, masih masuk akal ya. Tapi kalau cuma menyimpan karena enggan membuang, rasanya pengen nyadarin diri aku saat itu juga. Aku bahkan ketawa sendiri pas nemuin struk pembelian kopi dari beberapa tahun lalu. Apa gunanya? Nggak ada. Tapi tanganku berat banget buat buang.
Untuk struk ATM dan struk pembelian, aku udah biasain buat nggak perlu nyimpan itu. Soal histori rekening kan udah bisa diakses lewat ponsel. Sedangkan, struk pembelian, kalau nggak penting ya ikhlaskan aja buat dibuang.
Nah, kalau yang ini agak berat nih. Kotak barang. Bisa dikategorikan jadi guilty pleasure aku nih. Misalnya punya parfum baru, aku sayang banget sama packaging-nya. Boks itu rasanya kayak bagian dari experience. Jadi meskipun parfumnya udah aku pakai (bahkan sampai habis), boksnya masih aku simpen rapi di lantai, di laci, atau di sudut mana. Alasannya? Nanti bisa jadi konten. Tapi ya gitulah, kontennya nggak pernah belum jadi-jadi. Kotaknya malah jadi ngabisin space, numpuk kayak tumpukan dosa yang berawal dari sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.
Begitu juga sama kabel random. Charger lama, kabel USB yang udah nggak compatible, atau earphone rusak. Aku masih keep dengan harapan: nanti siapa tahu masih berfungsi. Tapi kenyataannya, bertahun-tahun tetap nggak berguna. Yang ada malah jadi sarang debu.
Sebenarnya aku udah ada niat nulis hal lain. Eh, harus ditunda dulu lantaran topik yang satu ini beneran masih anget-angetnya.
Seperti biasanya, aku bangun pagi. Mencoba mengawali hari dengan penuh semangat. Aku buka laptop dan melakukan step by step rutin yaitu nyalain internet, tapi oh tapi hari ini ada yang beda. Tombol Wi-Fi (yang biasanya muncul di pojok kanan bawah pas diklik ikon network) mendadak hilang.
Kemana larinya tombol itu?
Aku kira itu masuk hidden icons secara nggak sengaja. Tapi ternyata, di sana pun tetap nggak aku temukan.
Aku coba reset laptop, gagal. Coba matikan laptop sebentar terus nyalain lagi, gagal.
Aku putuskan cara andalanku kalau tiba-tiba koneksi internet bermasalah: klik troubleshoot problems, ternyata cara ini juga nggak membantu.
Terus aku harus gimana?
Aku pun lari ke mbah Google. Aku cari tuh dengan masukkin apa yang keluar pas aku klik troubleshoot problems. Yaitu an Ethernet cable is not properly plugged in or might be broken. Di bagian atas, hasilnya keluar beberapa video pilihan YouTube.
Aku sering banget iseng ngecek statistik blog. Entah kenapa, ada kepuasan tersendiri tiap lihat grafik naik turun naik. Kemarin, aku cukup dibuat kaget pas lihat view blogku naik signifikan. Lumayan tajam juga lonjakannya, sampai bikin aku mikir, “Hah, ada angin apa nih? Kok tiba-tiba rame?” Biasanya jumlah view-nya nggak segininya. Jadi ya otomatis aku kepo, cari tahu postingan mana yang lagi banyak dibaca orang.
Ternyata oh ternyata, postingan tentang ketemu Raditya Dika yang jadi magnetnya. Saat itu aku suka nulis pakai kata gue-lo. Aku langsung senyum sendiri, “Ah, postingan lawas ini ternyata masih ada yang baca.”
Throwback ke masa itu.
Aku inget banget, hari itu aku niat banget ke Malang Town Square buat ikut acara meet and greet plus signing buku “Koala Kumal”-nya Raditya Dika. Aku datang sendirian dan waktu itu aku bener-bener nekat aja. Demi bisa lihat dan ketemu langsung penulis favorit, I was like, “Ya udahlah, gas pokoknya!”
Sampai sana sekitar jam dua siang, dan aku beneran nggak nyangka kalau antriannya udah semengular itu, udah sampai ke luar toko buku Gramedia. Aku syok! Rasanya pengen pulang aja. Tapi ya masa udah capek-capek ke sana terus balik gitu aja? Jadi aku tahan. Aku ikut ngantri, dan jujur itu geraknya cuma secuil tiap beberapa menit. Untungnya aku bawa buku Koala Kumal yang mau ditandatangin nanti, lumayan bisa nge-distract rasa bosan.
Nah, di tengah kebosanan itu, aku buka BBM (iya, BBM yang sekarang udah RIP itu). Aku liat status temen kampusku, sebut aja Afgan. Statusnya singkat tapi bikin aku kaget: "Antriannya... Wow... :O"
Aku langsung bales, "Lo di mana, Gan?"
Dia jawab, "Gue dekat buku masakan, lo di mana?"
Ternyata dia pinter juga, nggak ikut antri dari luar. Dia pakai jalan pintas, naik tangga dari Gramedia lantai satu ke lantai dua. Aku mikir, “Gila, kenapa aku nggak kepikiran dari tadi?” Akhirnya aku ikut cara dia, dan bener-bener menghemat waktu serta tenaga. Jadi, makasih banget, Gan… eh, Afgan maksudnya.
Acaranya berlangsung dengan lancar meski hanya dua jam. Aku pun berhasil dapat tanda tangan di bukuku dan tentu aja foto bareng sama Raditya Dika.
Dan ini gong-nya. Aku baru nyadar sepuluh tahun kemudian kalau ternyata ada foto versi lain yang nggak pernah aku lihat sebelumnya.
Pernah nggak sih kamu punya momen di mana kamu akhirnya nekat ngelakuin sesuatu yang dari dulu cuma ada di angan-angan? Di bulan pertama tahun 2025 aku ngalamin hal itu. Aku sempet tulis di blog ini (klik di sini kalau mau throwback) gimana akhirnya aku memberanikan diri buat kirim naskah pertamaku via DPS Gramedia. Rasanya waktu itu campur aduk banget. Antara excited, nervous, dan agak nggak percaya diri. Nano-nano deh. Tapi aku tahu, kalau aku nggak coba, aku nggak akan pernah tahu. Dan aku pikir, yaudah, kirim aja dulu, urusan nanti diterima atau nggak itu belakangan.
Nggak kerasa, tiba-tiba aja udah delapan bulan lewat sejak aku kirim naskah via DPS. Bayangin, delapan bulan yang penuh dengan “what if”, rasa penasaran tiap kali login ke portal DPS Gramedia, hingga niatan ingin coba kirim terus selama masa tunggu naskah (yang akhirnya hanya wacana belaka.)
Seiring waktu berjalan, status naskahku di DPS berubah-ubah. Kalau belum familiar, sistemnya gini: setiap naskah bisa dikirim ke maksimal tiga penerbit. Apabila ditolak satu penerbit, maka naskah otomatis dilempar ke penerbit selanjutnya. Jadi prosesnya kayak estafet.
Tanggal kembar itu selalu punya vibe yang beda. Entah kenapa, setiap angka kembar muncul di kalender (kayak 8.8, 11.11, atau 12.12) langsung kebayang flash sale, promo gede-gedean, dan orang-orang berlomba checkout barang wishlist mereka.
Biasanya aku termasuk tim “lihat-lihat doang” setiap tanggal kembar. Kadang-kadang sih aku ikut checkout, tapi seringnya malah cuma scroll beranda marketplace sambil mikir, “Aku tuh sebenernya butuh apa sih?” Soalnya pengalaman udah ngajarin, promo besar memang menggoda, tapi kalau barangnya nggak benar-benar dipakai, ujung-ujungnya cuma numpuk di rumah. Meskipun kadang masih suka kalap sih, meskipun tahu nggak benar-benar butuh. Awalnya aku pikir, ya udah akan lewat gitu aja. Tapi kayak biasa, tangan ini nggak bisa diem pas tanggal kembar. Buka Shopee terus scrolling iseng, eh malah nemu banner promo yang bikin mata langsung melek: keanggotaan Shopee VIP bonus ChatGPT Plus gratis selama 3 bulan.
Ada tiga durasi keanggotaan Shopee VIP: satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan. Berhubung paling hemat yang enam bulan, jadi aku sekalian ambil yang enam bulan aja. Dengan merogoh tiga puluh ribu dikurang seribu.